Sabtu 09 Nov 2013 07:07 WIB

Berguru kepada KH AR Fakhruddin

Muhammadiyah, salah satu ormas terbesar di Indonesia.
Foto: www.muhammadiyah.or.id
Muhammadiyah, salah satu ormas terbesar di Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh M. Husnaini

Pengurus Muhammadiyah Ranting Takerharjo Solokuro Lamongan

Muhammadiyah pernah punya ulama semacam KH Abdul Rozak Fakhruddin. Pak AR, begitu ia karib disapa, adalah sosok ulama nan bersahaja. Di tangan Pak AR, dakwah Islam tampil begitu indah. Kepribadiannya yang sejuk membuat Islam mudah diterima siapa sajaContoh sederhana, ketika Pak AR mengisi pengajian Sabtu danSelasa di RRI Nusantara II Yogyakartatidak sedikit kalangan nonMuslim yang turut antusias menyimak uraian-uraiannya tentang Islam. 

Kebersahajaan memang menjadi trade mark bagi ulama yang pernah menjabat Ketua Umum PP Muhammadiyahterlama itu (1968-1990). Kredo yang selalu dipegang Pak AR, dakwah harus bil hikmah dan biqadri uqulihim (sesuai akal umat). Simak kalimat Pak AR saat mengurai persoalan hukum Islam. “Ini saya dasarkan atas Al-Quran dan hadis sahih. Oleh karenanya, apabila terdapat kekeliruan supaya dibenarkan dengan dasar Al-Qurandan hadis yang sahih pula. Di samping itu, saya tidak berani menetapkan sesuatu dengan hukum tertentu, misalnya wajib, sunnah, dan sebagainya. Tentang hal itu saya serahkan sepenuhnya kepada umat.

Itulah sikap ulama sejati yang jauh dari tinggi hati. Dalam berdakwah, Pak AR tidak pernah menodong orang dengan sebutan ahli bidah, sesat, kafir, dan serupanyaSetiap diksi katanya santunkalimatnya enak didengar.Ketika ditanya tentang hukum memuliakan kuburan dengan membangun batu nisanPak AR membuka jawaban,“Sesungguhnya saya merasa berat hati menjawab pertanyaan ini. Rasa berat hati saya itu karena nanti akan dikatakanWah kiranya yang tahu tentang agama, tentang hadis, seolah hanya Pak AR saja.

 

Demikian pula ketika menanggapi hukum sedekahan dan tahlilan. Pak AR berkata, “Kalau boleh saya berkata yang sebenarnya, mengadakan sedekahan ketika orang meninggal, dan kemudian berturut-turut pada hari ketiganya, ketujuhnya, keempat puluhnya, keseratusnya, keseribunya, itu bukan berasal dari agama Islam. Jelasnya, Allah tidak memerintahkan, begitu pula Rasulullah.

 

Dalam perjalanan dakwah Muhammadiyah yang berusia seabad lebih ini, kita butuh mubalig atau ulama sekaliber Pak AR. Sepantasnya mubalig, guru, ustad, bahkan kiai Muhammadiyah mampu mengatasi segala persoalan umatdengan cerdas tetapi bijaksana, menggunakan bahasa sederhana, tidak menggurui, apalagi serba menghakimi dan menyalahkan. 

Tantangan itu harus dijawab Muhammadiyah, mengingat menyeruaknya dakwah-dakwah yang serba kaku, hitam putih, dan rigid. Tidak jarang malah mubalig Muhammadiyah ikut-ikutan meniru model dakwah yang garang itu. Tentu ini berbahaya. Karena, di samping tidak sesuai dengan jati diri Muhammadiyah, dakwah semacam itu tidak akan pernah mampu menghasilkan apa-apa, selain perpecahan umat. 

Model dakwah Muhammadiyah jelas berbeda dengan golongan mana pun, kendati tampak mirip. Adalah benar bahwa Muhammadiyah sangat teguh memperjuangkan tauhid dan mengikis segala praktik takhayul, bidah, khurafat. Tetapi ingat, Muhammadiyah juga tidak antimodernitas. Bagi Muhammadiyah, di bidang ibadah, umat Islam harus tajrid (mencukupkan yang ada), tetapi tajdid (pembaruan) di bidang muamalah itu harus.

Dengan demikian, dakwah Muhammadiyah itu mencerahkan, bukan membelenggu. KH Ahmad Dahlan sendiritidak lain merupakan ulama yang berotak Barat tetapi berhati Mekah. Itulah yang menyebabkan Muhammadiyah kaya amal usaha. Tidak ada organisasi mana pun di dunia yang mampu mengungguli amal usaha Muhammadiyah. Karena itu, membandingkan Muhammadiyah dengan organisasi-organisasi yang baru seumur jagung adalah perbandingan yang tidak fair. 

Tidak sepantasnya mubalig dan tokoh atau pimpinan Muhammadiyah ikut-ikutan model dakwah yang sepintaslalu mirip Muhammadiyah padahal sesungguhnya melenceng dari khittah dakwah Muhammadiyah. Jika itu terjadi, Muhammadiyah juga yang dirugikan. Seluruh aktivis dakwah, terutama segenap pimpinannya, wajib membaca dan mendalami buku-buku panduan atau majalah terbitan resmi Muhammadiyah. Selain itu, tidak kalah penting, adalah meneladani kiprah dakwah tokoh-tokoh awal Muhammadiyah. Pak AR, salah satunya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement