REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ina Salma Febriany
Alquran tidak hanya memberikan tuntunan ibadah mahdhah, di dalam ribuan lebih ayatnya, kitab suci ini juga memberikan kabar gembira (basyiiran) dan juga peringatan (nadziiran). Salah satu dari kabar gembira itu ialah keni’matan yang tiada bandingannya, yakni surga untuk orang-orang yang ‘kembali’ pada-Nya.
Dalam beberapa ayat, Allah menyebut orang-orang kembali (bertobat) dengan awwabiin, misalnya saja yang tertera di Qs Qaaf 32, “Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara (semua peraturan-peraturan-Nya),”
Tobat erat kaitannya dengan dosa yang diperbuat manusia. Permasalahannya ialah, karena manusia tercipta sebagai hamba-Nya yang lemah dalam menghadapi hawa nafsu, baik yang datang dari dorongan diri sendiri maupun orang lain, tak jarang ketika seorang hamba mencapai pertaubatan, maka ia kembali ‘dicoba’ oleh ujian yang lebih berat lagi, sebagai ujian keimanannya dari Allah. Al-Quran surah Ali Imran ayat 135 secara eksplisit mengungkapkan tentang orang yang ‘menganiaya’ diri sendiri.
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji (faahisyah) atau Menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. (Qs Ali Imran: 135)
Berbagai literatur tafsir, salah satunya Al-Mishbah, yang dimaksud perbuatan keji (faahisyah) ialah dosa besar yang mana mudharatnya tidak hanya menimpa diri sendiri tetapi juga orang lain, seperti zina, riba. Sedangkan maksud dari menganiaya diri sendiri ialah melakukan dosa yang mana mudharatnya hanya menimpa diri sendiri baik yang besar atau kecil.
Tentang dosa, Syekh Imam Al-Ghazali memberikan empat jenis godaan yang biasanya menimpa manusia yaitu dunia serta isinya, manusia, setan, dan hawa nafsu. Dan yang paling sulit dari keempat itu ialah mengendalikan hawa nafsu yang mengajak kepada keburukan. Dari bisikan hawa nafsu, jika seorang hamba gagal, bisa melahirkan serangkaian sifat cinta dunia serta dosa-dosa lainnya.
Dan adakalanya, lanjut Imam Ghazali, manusia tergelincir kembali setelah melakukan pertaubatan, maka langkah yang tepat ialah ‘kembali bertaubat’ dan tidak henti-hentinya untuk memuhasabah diri. Ini berarti, dalam melakukan pertaubatan, dibutuhkan tidak hanya sekali. Dengan kata lain, taubat yang sebenarnya (taubat nasuha), membutuhkan keseriusan lahir batin agar tidak mengulangi dosa atau menjadi taubat yang tertolak. Sebisa mungkin, seorang hamba tidak ‘menyengja’ diri untuk kembali melakukan dosa.
Dosa adalah hiasan kehidupan manusia yang karena Allah membekali kita dengan pikiran dan hawa nafsu—manusia terkadang bisa seperti malaikat jika ghairah ibadah sedang memuncak, namun dapat pula melakukan perbuatan syaithanniyah jika terus menerus menuruti hawa nafsu. Meski sudah dikategorikan Allah sebagai hamba yang (dhaif) dalam mengendalikan hawa nafsu, spirit taubat tak boleh padam. Karena, Allah tidak hanya mengganjar surga bagi awwabiin, namun juga hadiah berupa ‘doa’ dari ribuan malaikat-Nya agar Allah mengampuni semua dosa yang tak terhingga.
“(Malaikat-malaikat) yang memikul 'Arsy dan Malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan): "Ya Tuhan Kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, Maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertobat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala,” (Qs Mu’min: 7)