Rabu 19 Jun 2013 01:17 WIB

Albania, Albanianisme yang Masih Ateis

Rep: Teguh Setiawan/ Red: M Irwan Ariefyanto
Perempuan Albania sudah mulai menggunakan Hijab
Foto: albanian.co
Perempuan Albania sudah mulai menggunakan Hijab

REPUBLIKA.CO.ID,Sejenak menoleh ke belakang, Albania adalah negeri yang diapit dua “negara agama”, yakni Yunani di selatan dan Italia di sebelah utara. Yunani mengidentifikasi diri sebagai pemeluk Ortodoks Timur dan Italia adalah Katolik.

Sepanjang abad pertengahan, Albania adalah ladang pertempuran Ortodoks Timur dan Katolik. Jika Ortodoks Timur yang berkuasa, orang Albania ramai-ramai menjadi pemeluk agama itu. Ketika Ortodoks Timur terusir dan Katolik berkuasa, kaum feodal berbondong-bondong minta dibaptis menjadi Katolik.

Perpindahan dari Ortodoks Timur ke Katolik dan sebaliknya berlangsung sekian kali antara abad ke-11 sampai abad ke-14. Setelah Turki masuk, Ortodoks Timur dan Katolik menjadikan Islam sebagai musuh bersama.

Memasuki abad ke-20, Kekaisaran Ottoman mengalami kemunduran. Perang Balkan 1912-1913 memaksa Ottoman mundur dari semua wilayah jajahannya di Eropa, kecuali Thracia Barat di Yunani. Albania tertinggal sendirian dan menjadi negara Islam di pinggir peradaban Eropa.

Perang Dunia I melenyapkan harapan Albania menjadi negara stabil di bawah prinsip-prinsip Islam. Albania silih berganti jatuh ke tangan Serbia, Montenegro, dan atau menjadi protektorat negara-negara yang melawan Jerman. Pada saat yang sama di Turki, Kemal Ataturk menjalankan proses sekularisasi.

Terinspirasi perjuangan Ataturk, Ahmet Bey Zogoli menggulingkan Fan Noli—patriarch Ortodoks Timur yang ditempatkan sekutu untuk memerintah Albania—dan mengangkat diri menjadi raja. King Zog, demikian Ahmet Bey Zogoli dipanggil, menanggalkan hukum Islam dan menerapkan Swiss Civil Code.

Sekularisme King Zog disambut gembira kelompok Katolik, Ortodoks Timur, dan Bektashi—sebuah sekte sempalan Syiah. Islam terlalu lemah untuk melawan dan gagal mengorganisasi diri. Partai Komunis Albania (ACP) di bawah Enver Hoxha menemukan lahan subur untuk tumbuh dan berkembang.

Perlahan tapi pasti, warisan Ottoman lenyap dari Albania. Muslim yang frustrasi mulai meninggalkan ajarannya dan menjadi aktivis komunis. Segelintir ulama yang mulai tua kehilangan pengaruhnya di masyarakat dan ditinggalkan pengikut.

Sebelum Perang Dunia II, ACP menjadi kekuatan utama. Ketika Jerman menganeksasi Eropa Timur, ACP adalah satu-satunya kekuatan anti-Jerman di Albania. Bali Kombetar dan Legaliteti—partai yang mengangankan membentuk negara republik dan feodalistik—menjadi sekutu Jerman.

Selepas Perang Dunia II, Hoxha mengambil alih pemerintahan dan King Zog melarikan diri. Hoxha segera menjalankan agenda politiknya, yaitu menghancurkan Islam. Ia menasionalisasi semua aset lembaga Islam, merobohkan ratusan masjid, dan mengubah ratusan lainnya menjadi gudang, gedung teater, dan sarana publik lainnya.

Selain itu, anak-anak diimbau melaporkan orang tua mereka yang menjalankan ibadah atau menyimpan Alquran. Ratusan hoja atau ulama serta mereka yang setia dengan Islam dijebloskan ke penjara atau dibantai sepanjang 1944 sampai 1967. Pemeluk Katolik, Ortodoks Timur, dan Bektashi—yang menguasai setengah dari seluruh kursi Polibiro ACP—menyaksikan semua itu dengan senyum.

Pada 1967 Hoxha mendeklarasikan Albania sebagai negara ateis pertama di dunia dan menjalankan program berikutnya. Ia membersihkan politbiro ACP dari elemen keagamaan dan mengarahkan mesih penghancurnya ke gereja-gereja dan kuil Bektashi.

Hoxha memaksa para paderi Katolik dan Ortodoks Timur menanggalkan jubah dan mengirim mereka ke pabrik-pabrik dan lahan pertanian kolektif. Mengutip Pashko Vasa—intelektual dan penyair Katolik abad ke-19—Hoxha mengatakan, feja e shqyptarit asht shqyptaria (agama orang Albania adalah Albanianisme).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement