Senin 03 Jun 2013 21:18 WIB

Dunia Islam Menghadapi Sinkretisme

Umat Islam menyambut Ramadhan dengan shalat berjamaah di Masjid. Masyarakat Dunia Islam saat ini dituntut menguasai Bahasa Inggris bila ingin mempromosikan dan memperkaya dunia dengan nilai-nilai Islami.
Foto: AA/WORLD BULETIN
Umat Islam menyambut Ramadhan dengan shalat berjamaah di Masjid. Masyarakat Dunia Islam saat ini dituntut menguasai Bahasa Inggris bila ingin mempromosikan dan memperkaya dunia dengan nilai-nilai Islami.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nashih Nashrullah

Pada zaman modern, beberapa contoh paling dramatis dari gerakan-gerakan sinkretis terbuka ditemukan di Afrika Barat, Asia Selatan, dan Asia Tenggara.

Sinkretisme, seperti yang dijelaskan oleh John L Esposito dalam Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, adalah fenomena bercampurnya praktik-praktik dan kepercayaan-kepercayaan dari sebuah agama dengan agama lainnya sehingga menciptakan tradisi yang baru dan berbeda. Derajat identifikasinya sangat beragam sehingga sulit membedakannya dengan praktik bid'ah yang diperdebatkan.

Pemahaman yang berbeda di kalangan Muslim tentang ajaran normatif tertentu dalam agama, memunculkan persoalan pelik dalam menentukan manakah sinkretisme dan mana yang tidak. Kontroversi ini menjadi sumber perdebatan pada abad ke-19 dan ke-20.

Pada zaman modern, beberapa contoh paling dramatis dari gerakan-gerakan sinkretis terbuka ditemukan di Afrika Barat, Asia Selatan, Asia Tenggara, dan bagian lain di mana umat Muslim bersinggungan secara langsung dengan non-Muslim. Di Ghana, pada abad ke-19, raja penyembah Ashanti bergantung kepada para pedagang Muslim untuk menjadi penghubung dalam kafilah dagang dan sebagai ahli pembuat azimat kekuatan.

Di banyak bagian Afrika kala itu penyebaran sinkretisme memberikan kontribusi pada persepsi bahwa Islam sebagai salah satu sumber kekuatan mistis. Dengan memfasilitasi penduduk untuk melakukan ritual-ritual dan adat istiadat Islam, berarti pula sebagai jalan masuk penerimaan mereka terhadap Islam. Praadaptasi sinkretis tampak memainkan peran penting yang serupa dalam perpindahan orang-orang Hindu di Asia Selatan ke dalam Islam.

Seperti halnya di Asia Selatan, perkembangan Islam di Asia Tenggara pada masa modern juga memiliki pengalaman serupa dalam tarik-menarik antara konsesi-konsesi kepada khazanah lokal di satu sisi, dan upaya-upaya para reformis untuk menjaga kemurnian pesan Islam di sisi lain. Tradisi estetika pribumi telah dipengaruhi dengan amat kuat oleh varian Asia Tenggara dari kisah Hindu Ramayana dan Mahabharata.

Sebagaimana di Afrika dan Anak Benua India, sebagian penduduk asli Asia Tenggara, menafsirkan tradisi sinkretis ini sebagai jalan untuk menolak sama sekali hubungan dengan Islam. Pada abad ke-19 di Jawa, masih terdapat kantung-kantung permukiman Buddha yang di dalamnya terdapat ritual dan mitologi setempat berupaya memasukkan pengaruh Islam, tapi menolak perpindahan sepenuhnya ke dalam Islam.

Salah satunya ialah Ajisaka. Pahlawan kebudayaan dalam cerita rakyat Jawa yang amat dicintai. Di banyak wilayah, gerakan sinkretis amat dihargai bukan sebagai sesuatu yang mampu bertahan hidup, tetapi sebagai upaya-upaya baru dan dinamis untuk membentuk kembali tradisi-tradisi lokal dalam berhadapan dengan upaya Muslim pembaru untuk mempersempit rentang kepercayaan yang diperkenankan dengan memperkenalkan kriteria baru dalam lingkup Islam. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement