Senin 03 Jun 2013 16:27 WIB

Kontroversi Amalan di Bulan Rajab

Hilal atau bulan muda (ilustrasi)
Foto: viajeislam.wordpress.com
Hilal atau bulan muda (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nashih Nashrullah

Kontroversi amalan Rajab muncul akibat penyikapan terhadap sejumlah hadis terkait ritual ibadah tertentu bulan ini.

Rajab adalah bulan yang mulia dan memiliki kedudukan agung. Rajab termasuk salah satu dari empat bulan yang disucikan dan dilarang pertumpahan darah, yakni Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharam. (Larangan itu berlaku di semua bulan, hanya penekanan larangan itu lebih pada keempat bulan itu).

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah 12 bulan, dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram.”(QS at-Taubah [9]: 36).

Rajab dikenal dengan beberapa sebutan. Penamaan Rajab itu, menurut Ibn Faris dalam Maqayis al-Lughah, berarti pengagungan. Konon, masyarakat pra-Islam menghormati Rajab. Selain kata Rajab, ada pula padanan lainnya, yakni Mudhir.

Ada sejumlah alasan, mengapa Rajab disebut Mudhir. Konon, Mudhir adalah salah satu kabilah Arab pada masa jahiliah yang tidak mengotak-atik bulan-bulan haram tersebut agar mereka bebas melakukan larangan-larangan itu. Kisah itu terabadikan di surah at-Taubah ayat ke-37. Alasan lain, karena suku ini menunjukkan penghormatan yang lebih terhadap Rajab. Ini bila dibandingkan dengan suku yang ada saat itu.

Sedangkan, sebutan Rajab berikutnya, yaitu Athirah. Latar belakang pemakaian nama Athirah lantaran masyarakat Arab pra-Islam menyembelih hewan kurban pada bulan ini. Athirah berarti hewan kurban. Tentang hukum penyembelihan kurban di Rajab, mayoritas ulama sepakat hukumnya tidak boleh dilaksanakan pada Rajab. Mereka berdasarkan pada Hadis Riwayat Bukhari Muslim dari Abu Hurairah yang menyebutkan tentang tidak berlakunya Athirah pada Rajab.

Namun, sebagian ulama Mazhab Syafii memperbolehkan penyembelihan kurban pada Rajab. Bahkan, menghukuminya sunah. Pendapat ini juga terkenal banyak dipakai oleh sejumlah ulama Basrah pada era salaf. Mereka merujuk hadis riwayat Mukhanndaf bin Salim al-Ghamidi yang dinukilkan sejumlah imam hadis, seperti Abu Dawud, an-Nasai, dan Ibn Majah.

Selain berkurban, ada sejumlah amalan yang disebut-sebut khusus dilaksanakan selama Rajab, tetapi kontroversial. Sebuah karya besutan Syekh Faishal bin Ali al-Bu’dani yang berjudul Fadhail Syahr Rajab fi al-Mizan mencoba menguak hal itu. Di kalangan ulama salaf, topik ini sebetulnya pernah pula dibahas. Sebut saja risalah sederhana yang fokus mengupas Rajab karangan Ibn Hajar al-Asqalani, yaitu Tabyin al-‘Ajab Bima Warada fi Fadhli Rajab.

Pangkal persoalan adalah penyikapan terhadap hadis-hadis lemah dalam amalan-amalan sekunder (fadhail al-a’mal). Selama hadis itu tidak pada derajat palsu maudhu’, sebagian ulama memperbolehkan penggunaan hadis tersebut. Ini dengan sejumlah catatan seperti yang masyhur di kajian hadis.   

Amalan yang dipersoalkan seperti shalat raghaib. Bentuk shalat raghaib itu seperti yang dijelaskan hadis palsu yang dinisbatkan pada Anas bin Malik. Penggalan singkatnya, yaitu raghaib pelaksanaannya pada Kamis pekan pertama Rajab seusai shalat Isya.

Jumlah rakaatnya sebanyak 12 rakaat. Tiap dua rakaat dipisah dengan salam. Bacaan yang harus dibaca per rakaat ialah surah al-Fatihah tiga kali dan al-Ikhlas 12 kali. Menurut Imam an-Nawawi, shalat ini tak boleh dilakukan karena merujuk pada hadis palsu.

Selain kurban dan raghaib, amalan kontroversial pada Rajab ialah mengkhususkan umrah dan zakat pada bulan ini. Demikian juga berpuasa secara khusus pada hari-hari tertentu. Kecuali, bila puasa tersebut adalah puasa-puasa sunah biasa, seperti puasa Senin dan Kamis atau puasa tiga hari bulan purnama, 13, 14, dan 15.

Namun, sebagian ulama berpendapat puasa-puasa khusus Rajab selama menggunakan hadis lemah dan dalam kerangka fadhail a’mal maka boleh dilakukan. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement