REPUBLIKA.CO.ID, Kebetulan tersebut membawanya berkenalan lebih dekat dengan Islam. Kampung Lelet membuat Abdurrahman berinteraksi dengan umat Islam. Dia pun mengaku baru mengenal sosok kaum Muslim, kehidupan ibadahnya, dan lain-lain di sana.
Lama-kelamaan, hadir perasaan yang mengganjal. Sebelumnya, ia lebih banyak mendengar cerita dan kisah tentang umat Islam yang berkonotasi negatif.
Islam identik dengan kekerasan, membawa pedang, dekat kemiskinan, terbelakang, dan sebagainya. Kenyataannya, tak seperti itu. Apa yang dilihatnya di Kampung Lelet sungguh sangat berbeda.
Orang Islam sangat ramah dan baik. ''Saya merasa akrab berbaur di antara mereka,'' aku Abdurrahman yang bernama asli Arnold al Gonzaga itu.
Sampai datang bulan suci Ramadhan. Tiada satu warung makan yang buka. Abdurrahman yang masih Nasrani, kesulitan dapat makan siang. Terpaksa ia harus berjalan jauh agar menemukan warung yang buka.
Langkah kaki membawanya ke sebuah kedai makan kecil di dekat rumah orang tua angkatnya di Condong Catur. Dia pun mampir dan makan di sana.
Terdorong rasa penasaran, usai makan Abdurrahman bertanya kepada si pemilik warung. Namanya Bu Sarjono, pensiunan pegawai TVRI. ''Ibu puasa tidak?'' tanya dia. Lantas dijawab, ''ya.'' Abdurrahman bertanya lagi, ''Apakah saat saya makan, ibu terganggu?'' Bu Sarjono menjawab, ''Saya memang puasa, Mas. Tetapi, sewaktu melayani orang makan, ya tidak masalah.''
Seketika jawaban itu mengagetkan Abdurrahman. ''Saya terpana, tapi heran. Itu pengalaman luar biasa bagi saya. Bagaimana tidak, ada orang sedang berpuasa, lantas melihat orang makan, dia tidak terganggu. ''Ini sulit saya pahami,'' dia menuturkan. Sepanjang perjalanan pulang ke kos, dia masih terngiang kata-kata Bu Sarjono.