REPUBLIKA.CO.ID, Para saudagar Muslim itu sebagian besar berasal dari orang-orang berbahasa Soninke dari daerah Timbuktu dan Djenne. Lama kelamaan mereka mengadaptasi dialek suku Malinke yang kemudian membuat mereka disebut orang-orang Dyula. Mereka membangun tempat tinggal di kota Bobo-Dyulasso, Kong, Bunduku, atau kota lain yang dekat dengan ladang emas.
Islam mulai menyebar mulai lewat perkawinan antara para saudagar Muslim dengan penduduk setempat. Seiring waktu, generasi-generasi Muslim baru bermunculan dari hasil perkawinan tersebut. Komunitas Muslim pun semakin meluas. Kelompok Muslim pun tanpa terasa sudah dianggap menjadi bagian dari masyarakat Kerajaan Mossi.
Orang-orang Dyula juga sangat peduli dengan pendidikan Muslim bagi generasi di bawah mereka. Setiap keluarga berkewajiban untuk mengajarkan Islam bagi anak-anaknya. Dalam struktur komunitas Muslim di sana, terdapat sebuah posisi yang disebut Karamoko, mereka adalah para ulama yang mengerti Alquran, tafsir, hadis, dan sejarah Nabi Muhammad.
Seorang Karamoko harus belajar giat agar bisa mendapatkan sorban dan ijazah sebagai tanda atau surat izin untuk mengajarkan Islam. Penyebaran Islam yang pesat di Burkina Faso, saat ini sekitar 60 persen penduduknya beragama Islam, juga dibantu oleh cara Prancis memerintah di negara tersebut.
Prancis menjadikan Burkina Faso sebagai daerah kolonialnya pada tahun 1919. Berbeda dengan kebijakan Kerajaan Mossi, pemerintahan kolonial ini justru tidak alergi dengan Islam. Mereka justru membantu penyebarannya Islam secara damai melalui perdagangan. Pihak kolonial menganggap umat Muslim, baik secara kultur maupun pendidikan jauh lebih baik dari sebagian masyarakat Afrika yang belum memeluk agama Islam. (bersambung)