REPUBLIKA.CO.ID, Terkait mani yang dikeluarkan secara muhtaram, para ulama NU mengutip dasar hukum dari Kifayatul Akhyar II/113.
''Seandainya seorang lelaki berusaha mengeluarkan spermanya (dengan beronani) dengan tangan istrinya, maka hal tersebut diperbolehkan, karena istri memang tempat atau wahana yang diperbolehkan untuk bersenang-senang.''
Ketiga, apabila mani yang ditabung itu mani suami-istri dan cara mengeluarkannya termasuk muhtaram,serta dimasukan ke dalam rahim istri sendiri, maka hukum bayi tabung menjadi mubah (boleh).
Meski tak secara khusus membahas bayi tabung, Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah juga telah menetapkan fatwa terkait boleh tidaknya menitipkan sperma suami-sitri di rahim istri kedua.
Dalam fatwanya, Majelis Tarjih dan Tajdid mengungkapkan, berdasarkan ijitihad jama'i yang dilakukan para ahli fikih dari berbagai pelosok dunia Islam, termasuk dari Indonesia yang diwakili Muhammadiyah, hukum inseminasi buatan seperti itu termasuk yang dilarang.
''Hal itu disebut dalam ketetapan yang keempat dari sidang periode ketiga dari Majmaul Fiqhil Islamy dengan judul Athfaalul Anaabib (Bayi Tabung),'' papar fatwa Majelis Tarjih PP Muhammadiyah.
Rumusannya, ''Cara kelima inseminasi itu dilakukan di luar kandungan antara dua biji suami-istri, kemudian ditanamkan pada rahim istri yang lain (dari suami itu) ... hal itu dilarang menurut hukum syarak.''
Sebagai ajaran yang sempurna, Islam selalu mampu menjawab berbagai masalah yang terjadi di dunia modern, saat ini.