REPUBLIKA.CO.ID, Dibuatnya embarkasi dan karantina haji ini sejatinya merupakan taktik Belanda untuk menekan pengaruh ulama-ulama pada masa itu.
Namun Belanda berdalih, kegiatan tersebut bertujuan untuk memastikan kondisi kesehatan para calon haji agar bisa tetap sehat selama melakukan perjalanan ke Tanah Suci.
Pada saat itu, perjalanan ke Makkah setidaknya membutuhkan waktu dua hingga enam bulan.
Pulau Onrust tak hanya menampung mereka yang hendak berangkat haji. Para jamaah yang baru selesai berhaji pun ditampung di sana.
Kata Pemerintah Belanda, hal itu untuk memastikan bahwa mereka tidak membawa penyakit yang berasal dari negara lain dan menularkannya di dalam negeri.
"Dulu ceritanya ada sekitar 3.000 jamaah haji yang dikarantina sebelum pulang kampung, karena ditakuti mereka menularkan penyakit pes. Penyakit tersebut berasal dari beras Myanmar yang dimakan oleh jamaah haji," kata Abah Alwi.
Bahkan, Belanda mengklaim, pada 1927 tercatat sekitar delapan persen jamaah haji terjangkit penyakit kolera. "Sayangnya jamaah yang meninggal tidak dikuburkan menghadap kiblat.'' Jamaah haji yang meninggal selama masa karantina dimakamkan di Pulau Sakit yang kini bernama Pulau Bidadari. Ada pula yang dimakamkan di Pulau Kelor.
Pulau Onrust memiliki 35 barak penampungan haji dengan kapasitas 100 orang setiap baraknya. Berapa lama tinggal di barak itu tergantung dari jenis penyakitnya.
Minimal mereka harus tinggal di tempat tersebut selama lima hari sebelum akhirnya dibolehkan kembali ke tempat asalnya. Mereka yang tidak sakit pun arus menunggu yang sakit untuk kemudian dapat pulang kampung bersama-sama.