REPUBLIKA.CO.ID, Etnis Tionghoa atau Cina memiliki peran dominan dalam kehidupan Indonesia. Hal itu tidak ha nya dalam bidang bisnis atau ekonomi semata, tapi juga di sektor lainnya.
Namun, membicarakan hal yang menarik dari keturunan Cina bukan hanya dari sisi penguasaan ekonomi karena tak sedikit sisi-sisi kehidupan mereka, terutama pada masa lampau yang menarik untuk dikaji.
Sejarah kehadiran mereka di nusantara ikut mengiringi sejarah perkembangan peradaban di Indonesia dari zaman kerajaan, masa perjuangan melawan kolonialisme, hingga zaman republik saat ini.
Sejarah Cina di Indonesia penuh dengan kegemilangan, kegagalan, pengkhianatan, kepahlawanan, pembantaian, perseteruan, dan persahabatan. Ada sebagian dari mereka yang bersekongkol dengan penjajah, berkongkalikong dengan raja untuk memeras rakyat.
Ada yang mengalami pembantaian oleh Belanda, ada yang menjadi pemburu rente, tapi tak sedikit yang menjadi bagian dari kisah epik tentang kepahlawanan di negeri ini. Menurut penulis, pada masa lalu, keturunan Cina juga ikut mewarnai perkembangan Islam di nusantara.
Ketika Wali Songo aktif menyebarkan Islam di Pulau Jawa, beberapa dari mereka ikut berperan. Kunjungan Laksamana Cheng Ho pada masa itu mewariskan masjid yang sampai sekarang masih terawat baik di Semarang, Surabaya, dan kota-kota lain.
Dalam buku yang merupakan kumpulan tulisan penulis yang dimuat di rubrik “Teraju” harian Republika ini, penulis memaparkan kiprah dan peran orang-orang Cina sejak zaman era kolonial. Tionghoa yang datang ke Jawa, Muslim atau bukan, adalah pedagang yang secara bertahap menjadi pemukim mapan di semenanjung pantai utara Jawa dan Sumatra.
Integrasi Tionghoa Muslim dan non-Muslim dengan masyarakat pribumi, menurut penulis yang juga wartawan Republika, menjadi faktor penting perkembangan kota-kota di Jawa dan tumbuh pesatnya aktivitas ekonomi.
Di kota-kota pelabuhan, Muslim Tionghoa menjadi syahbandar, pengoleksi cukai pelabuhan, dan pengatur lalu lintas kapal atas nama penguasa. Beberapa di antaranya memperoleh gelar kebangsawanan dan menikahi wanita elite lokal.
Belanda menuduh Tionghoa memeluk Islam untuk menghindari pajak dan memperoleh akses berdagang lebih luas. Sedemikian banyak kisah tentang keterlibatan Muslim Tionghoa dalam penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, tapi mereka tidak pernah bisa melepaskan statusnya sebagai minoritas di dalam minoritas.
Muslim Tionghoa bahkan pernah berhasil menerjemahkan Alquran dalam bahasa Mandarin pada abad 17. Namun, karya tersebut sempat lenyap selama dua abad. Mereka juga pernah mendirikan partai. Terdapat asumsi Muslim Tionghoa pada era kolonial menganut Mazhab Hanafi dan tidak mengenal tiga mazhab lainnya, yaitu Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Mereka juga tidak mengenal istilah Sunni dan Syiah.
Membaca buku ini, pembaca akan mendapat gambaran yang jelas tentang kiprah, peran, dan sepak terjang etnis Tionghoa dari dulu hingga zaman sekarang.
Judul : Cina Muslim dan Runtuhnya Republik Bisnis
Penulis : Teguh Setiawan
Penerbit : Republika
Cetakan : Pertama, Juli 2012
Halaman : viii+ 261