REPUBLIKA.CO.ID, Kondisi yang ada di hadapan kita (vis-a-vis) ini, problem khusus di dalam mempelajari gagasan Sufi, adalah bahwa begitu banyak orang yang ingin mempelajarinya tetapi sesungguhnya enggan (tidak berkemauan penuh).
Karena komitmen psikologikal yang sistematis, untuk memperbolehkan perdebatan tertentu tentang Sufisme, tetap dipertahankan oleh kaum Sufi, tertanam di dalam beriak.
Situasi ini, yang ada atau munculnya ditunjukkan oleh banyak pengalaman pribadi, jauh lebih tersebar daripada perumpamaan tunggal yang memberi kesan kuat ini.
Persoalan bagi kedua kubu tersebut, tidak dipermudah oleh kecenderungan umum secara individual, yang ditujukan dalam upaya menghadapi gagasan-gagasan Sufi melalui penolakan yang tegas.
Suatu jawaban yang berlaku umum seperti ini, "Berpikir dengan sudut pandang seperti yang anda anjurkan, akan mengoyak pola pikir saya yang sudah mapan (selama ini)."
Individu seperti ini benar-benar salah dalam meyakini hal tersebut; bagi Sufi ia adalah orang yang menilai atau menganggap rendah kapasitas yang dimilikinya sendiri. Reaksi lainnya adalah mencoba merasionalisasi atau menginterpretasi kembali gagasan-gagasan yang diajukan kepadanya, dalam sudut pandang tertentu (antropologi, sosiologi, sofistik, psikologi) dimana ia lebih banyak menemukan seleranya.
Dalam perumpamaan kita, kondisi subjektif tersebut mungkin dapat dijelaskan seperti berikut, "Oh ya, teori pengaruh dari suara (bunyi) ini jelas sekali dihasilkan untuk lebih memberikan suatu kerumitan (pemutarbalikan) esoteris pada derivasi yang lebih bersifat duniawi tentang wool."
Tetapi model pemikiran seperti ini tidak akan berhasil dalam skala luas, karena jauh sebelum ditemukan di antara suku-suku primitif atau terkubur di dalam buku-buku berbahasa mati, gagasan Sufi dalam tingkatan yang bervariasi terkandang dalam latar belakang dan kajian-kajian lebih dari 50 juta orang saat ini; dalam bentuk atau cara apa pun mereka berhubungan dengan Sufisme.