Sabtu 08 Sep 2012 20:23 WIB

Bolehkah Berbagi Hadiah dengan Non-Muslim? (2-habis)

Rep: Nashih Nashrullah/ Red: Chairul Akhmad
Hadiah (ilustrasi).
Foto: gifts4women.org
Hadiah (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Dalam riwayat Abu Hurairah ditegaskan bahwa Rasulullah mencontohkan agar menerima hadiah dan tidak menolaknya.

“Sekiranya aku diundang makan sepotong kaki binatang (halal), pasti akan aku penuhi undangan tersebut. Begitu juga, jika sepotong lengan atau kaki dihadiahkan kepadaku, pasti aku akan menerimanya.” (HR Bukhari).

Penuturan Aisyah juga mengemukakan hal yang sama. Rasulullah suka menerima dan memberi hadiah.

Lalu, bolehkah hadiah tersebut diberikan bagi mereka yang berlainan keyakinan atau agama? Demikian sebaliknya, apa hukumnya menerima hadiah dari non-Muslim?

Syekh Kamil berpendapat bahwa Muslimah boleh memberi hadiah kepada siapa pun yang berbeda akidah. Hukum yang sama juga diperuntukkan untuk penerimaan hadiah dari mereka yang kafir. Pendapat ini merujuk ke sejumlah praktik memberi dan menerima hadiah yang pernah dicontohkan Rasulullah.

Dalam riwayat Ahmad, Tirmidzi, dan Bazzar, Rasulullah pernah menerima pemberian seorang Chosroes Persia dan Kaisar Romawi. Para penguasa non-Muslim sejumlah wilayah kala itu, konon sering pula menghadiahkan sesuatu kepada Rasulullah.

Ada yang berupa baju kulit dan sutra tidak murni. Selain dari kolega, hadiah juga diterima dari para sahabatnya. Seperti hadiah Fadak dari Bilal untuk Rasulullah.

Syekh Kamil juga mengingatkan Muslimah agar tidak meminta kembali pemberian apa pun yang telah diberikan. Tindakan semacam ini tidak diperbolehkan dan dihukumi haram.

Rasulullah bersabda, “Orang yang menarik kembali hibahnya adalah seperti anjing yang muntah lalu memakan lagi muntahannya itu.” (HR Bukhari). Pendapat ini diamini oleh mayoritas ulama. Kecuali dalam kasus hibah orang tua kepada anaknya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement