Sabtu 01 Sep 2012 20:18 WIB

Wacana Pemiskinan Koruptor (3-habis)

Rep: Nashih Nashrullah/ Red: Chairul Akhmad
Baju koruptor tahanan KPK (ilustrasi).
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Baju koruptor tahanan KPK (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Lalu apakah pemberlakuan sanksi ini bisa mengurangi atau membebaskannya dari bentuk putusan hukuman lain dari pengadilan?

Penyitaan ini tidak lantas menggugurkan jenis hukuman lain yang diberikan oleh pihak pengadilan.

Fatwa ini merujuk beberapa argumentasi, baik yang berasal dari Alquran maupun sunah. Dalam Surah An-Nisaa’ ayat 29, Allah SWT menegaskan larangan mengambil harta atau hak orang lain dengan cara yang tidak sah. “Hai orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil.”

Sebuah atsar dari Abu Hurairah dan Umar juga menyatakan pentingnya klarifikasi dan penegasan antara aset pribadi dan aset orang lain. Ketika Abu Hurairah pulang dari Bahrain membawa uang sebanyak empat ribu dan menghadap Umar, Umar bertanya, “Apakah engkau telah berbuat zalim kepada seseorang?”

Ia menjawab, “Tidak.”

Umar bertanya lagi, “Apakah Anda telah mengambil sesuatu tanpa hak?”

Ia menjawab, “Tidak.”

Umar bertanya lagi, “Berapa yang kamu bawa untuk dirimu?”

Ia menjawab, “Dua puluh ribu.”

Umar bertanya lagi, “Dari mana kamu peroleh?”

Ia menjawab, “Saya berdagang.”

Umar berkata, “Perhatikan berapa modal dagangmu dan upah pekerjaanmu. Dua bagian itu saja kau ambil untukmu, sedangkan sisanya masukkan ke dalam Baitul Mal.”

Idealnya, wacana penyitaan ini memang akan berdampak positif bagi pencegahan tindak pidana korupsi. Namun, tanpa komitmen dari para penegak hukum, aturan tetap saja aturan. Tidak bisa berbuat lebih. Karena itu, pertemuan ulama tersebut merekomendasikan pentingnya ketegasan dan sanksi atas penyelewengan oleh aparat hukum.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement