Sabtu 01 Sep 2012 19:58 WIB

Wacana Pemiskinan Koruptor (2)

Rep: Nashih Nashrullah/ Red: Chairul Akhmad
Baju koruptor tahanan KPK (ilustrasi).
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Baju koruptor tahanan KPK (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Pelaksanaan perampasan aset tersebut, sementara ini telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht).

Ini dilakukan melalui putusan pengadilan. Selain itu, penyitaan tersebut bersandar dengan gugatan perdata, seperti Pasal 33 UU No 31 Tahun 1999.

Agar lebih kuat, konon pemerintah tengah menggodok Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana Korupsi dan masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2012. Bagaimana perspektif Islam soal perampasan aset tersebut?

Isu ini mengemuka dan menjadi salah satu bahasan penting Ijma Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia IV 2012. Dalam pertemuan yang digelar di Cipasung, Jawa Barat, itu ulama sepakat bahwa negara berhak menyita dan mengambil aset pelaku tindak pidana korupsi.

Hal ini bila kekayaan yang diperolehnya tersebut terbukti secara hukum berasal dari korupsi atau dengan cara tidak sah.

Fatwa ini menekankan bila aset tersebut tidak bisa dibuktikan secara hukum sebagai hasil korupsi, ia berkewajiban membuktikan sumber dan asal-usul aset yang ia miliki. Jika ia gagal membeberkan asal muasalnya, negara bisa mengambilnya.

Ketentuan penyitaan ini hanya berlaku bagi kekayaan yang telah terbukti secara hukum berasal dari sumber haram. Sedangkan jika harta tersebut ia peroleh dari cara sah dan halal, tidak boleh disita.

Bagaimana pendayagunaan dan pemanfaatan harta hasil sitaan tersebut? Fatwa ini menjelaskan, aset koruptor yang telah disita dan berada di tangan negara, maka dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kemaslahatan masyarakat umum (maslahat ammah).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement