Senin 30 Jul 2012 22:22 WIB

Myanmar: Soal Muslim Rohingya Bukan Masalah Agama

Pengungsi Muslim Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar di Teknaf, kota perbatasan Bangladesh.
Foto: Andrew Biraj/Reuters
Pengungsi Muslim Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar di Teknaf, kota perbatasan Bangladesh.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pemerintah Myanmar menolak upaya beberapa kalangan mempolitikkan dan menduniakan keadaan di wilayah Rakhine sebagai masalah agama. Demikian pernyataan yang disampaikan Pemerintah Republik Myanmar, yang diterima ANTARA pada Senin (30/7).

Pemerintah Myanmar menyatakan telah melakukan pengendalian maksimal untuk memulihkan hukum dan ketertiban di tempat tertentu di wilayah Rakhine. Myanmar sangat menolak tuduhan beberapa kalangan bahwa kekerasan dan penggunaan kekuatan berlebihan dilakukan pihak berwenang dalam menangani kerusuhan di wilayah tersebut, kata pernyataan itu.

"Myanmar adalah negara banyak agama, tempat Buddha, Kristen, Muslim, dan Hindu hidup bersama dalam damai dan serasi berabad-abad. Oleh karena itu, peristiwa di Rakhine bukan karena penindasan agama atau diskriminasi," kata pernyataan pemerintah itu.

"Perdamaian dan stabilitas sangat diperlukan demi keberlangsungan demokrasi dan proses reformasi di Myanmar. Solidaritas nasional dan harmoni rasial antarsuku berbeda penting bagi kesatuan," katanya.

Pihak berwenang telah mengambil tindakan diperlukan dengan hati-hati, katanya, pemerintah bekerja sama dengan pemimpin agama dan masyarakat, partai politik, dan organisasi sosial untuk mengatasi masalah tersebut.

Pada 11 Juni, Presiden U Thein Sein menyampaikan pernyataan terkait kejadian itu, mengimbau masyarakat Myanmar bekerja sama dengan pemerintah dan minta semua mewujudkan setiap unsur keadaan dengan kemurahan hati.

Presiden juga berjanji sangat mementingkan aturan hukum. Kantor Presiden menyatakan Keadaan Darurat Negara di wilayah Rakhine untuk menghentikan kekerasan dan mengembalikan hukum dan ketertiban pada 12 Juni 2012.

Pemerintah Myanmar sedang membangun bangsa damai, modern dan maju serta menetapkan prioritas untuk memastikan perdamaian, stabilitas, dan aturan hukum, katanya.

Setelah dua kejadian itu, kerusuhan pecah di kota Sittway, Maungtaw, dan Buthidaung, tempat perusuh membakar dan menghancurkan rumah, toko, dan penginapan, serta terlibat pembunuhan. Akibat kerusuhan itu, 77 orang dari kedua pihak tewas dan 109 luka. Sejumlah 4.822 rumah, 17 masjid, 15 biara, dan tiga sekolah dibakar.

Pemerintah menyatakan mencoba segera memulihkan ketengan di tempat kerusuhan itu sejak awal kekerasan di wilayah Rakhine. "Pemerintah juga mengambil langkah untuk menghentikan sebaran kekerasan dan mengembalikan perdamaian. Warga diberi keterangan tentang keadaan tersebut secara terbuka," katanya.

Untuk mengungkapkan kebenaran dan mengambil tindakan hukum pada pelaku pelanggaran hukum dan perbuatan onar di wilayah Rakhine, Panitia Penyelidik beranggota 16 orang dan dipimpin Wakil Menteri Dalam Negeri dibentuk pada 6 Juni 2012, kata pernyataan itu.

Dalam meninjau kejadian di wilayah itu ditemukan bahwa pelanggaran hukum tersebar akibat ketidakpercayaan dan perbedaan agama, yang menciptakan kebencian dan balas dendam terhadap satu sama lain.

Sebagai korban kekerasan, baik umat Buddha maupun Muslim, sangat jelas tampak bahwa kerusuhan tersebut tidak terkait dengan penganiayaan di wilayah itu. Myanmar adalah negara banyak ras dan banyak agama, tempat orang dengan keyakinan berbeda hidup bersama dalam damai dan serasi, kata pernyataan itu.

Anggota kabinet dan pejabat pemerintah serta perwakilan dari masyarakat telah mengunjungi wilayah terimbas kerusuhan itu dan terlibat dalam pemukiman ulang dan pemulihan serta penyaluran barang ke masyarakat di markas bantuan.

Pemerintah mengambil tindakan hukum terhadap pelaku kejahatan itu, katanya. Pada waktu sama, pemerintah mengambil langkah untuk memastikan gejala dan kejadian tersebut tidak terjadi lagi, kata pernyataan itu.

Pemerintah membangun 89 markas bantuan di kota tersebut bagi 14.328 orang Rakhine dan 30.740 orang Muslim terdampak kekerasan itu. Karena keadaan hukum dan ketertiban mulai pulih, pengungsi di tempat tersebut berangsur-angsur pulang.

Sebagai bagian dari usaha pembangunan kembali perumahan, yang dibakar di Maungtaw dan di desa sekitarnya, Kementerian urusan Perbatasan akan membangun 202 rumah, UNHCR akan membangun 222 rumah, dan CARE Myanmar, lembaga swadaya masyarakat antarbangsa, akan membangun 128 rumah. UNHCR sejauh ini mengirim 400 tenda bagi pengungsi di kota Maungtaw.

Dalam rangka memberikan penampungan di Sittway dan desa sekitarnya, pemerintah wilayah Rakhine berjanji membangun 170 tenda sementara, sedangkan UNHCR dan CARE Myanmar pimpinan UNHCR akan membangun 600 tenda, kata pernyataan itu.

UNHCR dan LSM itu telah menyediakan 6.818 perangkat berbagai macam peralatan rumah tangga dan 2.412 terpal bagi pengungsi di Rakhine. Selain itu, uang tunai dan barang berharga lain senilai tiga miliar Kyat untuk bantuan dan rehabilitasi korban diterima dari simpatisan, baik dari dalam maupun luar negeri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement