Senin 23 Jul 2012 13:16 WIB

Gerakan Rifa'iyah di Indonesia (2-habis)

Rep: Nidia Zuraya/ Red: Chairul Akhmad
Ilustrasi
Foto: Antara
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Untuk mengenalkan Islam sebagaimana yang diperolehnya di Tanah Suci, KH Ahmad Rifa’i menuliskan sebuah kitab yang berisi tentang paham keagamaan Rifa’iyah, yakni Tarojumah.

Dalam kitab ini, terdapat tiga hal pokok yang menjadi paham keagamaan, yakni fikih (hukum-hukum atau syariat Islam, seperti tuntunan shalat, berhaji, puasa, dan zakat), ushuluddin mengenai akidah dan ketuhanan, serta tasawuf yang menekankan etika kehidupan.

Menurut Daby Darban, ketiga paham ini sebenarnya tidak berbeda dengan mayoritas amalan umat Islam lainnya.

Namun, pemahaman keagamaan Rifa’iyah ini dipertegas lagi dengan kedisplinan untuk menjalankan ajaran Islam sebagaimana tuntunan Alquran dan hadis Nabi Muhammad SAW, tanpa bercampur dengan hal-hal yang berbau khurafat dan bid’ah.

Satu hal ajaran yang dikembangkan oleh KH Ahmad Rifa’i di kalangan pengikutnya meliputi pernikahan. Bagi pengikut Rifa’iyah, sebuah pernikahan dianggap tidak sah hukumnya, kecuali melalui ulama Rifa’iyah.

Alasan yang dijadikan landasan KH Ahmad Rifa’i karena saat itu adalah masa penjajahan Belanda di Indonesia. Pada masa penjajahan itu, banyak penghulu (modin) yang diangkat oleh pihak Belanda. Kalangan Rifa’iyah menganggap bahwa orang Belanda saat itu kafir dan fasik.

Oleh karena itu, penghulu yang diangkat oleh Belanda dan dianggap kafir itu tidak sah menikahkan seseorang. Karena itu, ajaran ini sempat menjadi tradisi di kalangan warga Rifa’iyah. Bila ada yang terjadi di kalangan pengikutnya, mereka harus dinikahkan ulang oleh ulama Rifa’iyah.

Karena gerakan dan ajaran seperti ini, KH Ahmad Rifa’i kemudian diasingkan oleh Belanda ke Ambon dengan tuduhan telah membuat kekisruhan dan perpecahan di kalangan masyarakat, khususnya umat Islam. Akibatnya, gerakan ini yang awalnya sangat agresif dalam menentang penjajah, secara perlahan, mengalami kemunduran karena hilangnya tokoh sentral.

Belakangan, jelas Daby Darban, gerakan ini berubah dari yang awalnya agak radikal menjadi lembut dengan semangat perdamaian dan persatuan. Sejumlah pondok pesantren Rifa’iyah pun berdiri. Mereka mulai berbaur dengan masyarakat sekitar. Namun, yang masih dipertahankan sebagai ciri khasnya adalah isolasi dalam shalat berjamaah. Wallahua’lam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement