Kamis 19 Jul 2012 11:10 WIB

Wirid dan Amalan Rifa'iyah (1)

Rep: Nidia Zuraya/ Red: Chairul Akhmad
Ilustrasi
Foto: Antara
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Setiap tarekat memiliki amalan zikir atau wirid. Zikir dan wirid ini merupakan amalan ‘pokok’ yang harus dilaksanakan oleh setiap anggotanya.

Dalam keseharian, mereka harus menjalankan praktik zikir atau wirid ini. Umumnya, hal itu dilaksanakan setelah shalat fardhu.

Tentu saja, wirid dan zikir antara satu tarekat dengan lainnya berbeda-beda. Termasuk dalam hal ‘lelaku’ atau gerakan zikir ini.

Namun, satu hal yang menjadi kesamaan hampir dalam seluruh tarekat adalah zikir kalimat tahlil, yakni La Ilaha illallah (Tiada Tuhan kecuali Allah). Kalimat ini senantiasa dibaca secara berulang-ulang.

Bentuk lainnya berupa zikir vokal yang diucapkan secara teratur oleh kaum Rifa’iyah dalam zawiyah mereka. Dalam beberapa cabang Rifa’iyah, para pengikut mengucapkan berbagai doa dan selalu melafalkan nama-nama Allah (Asmaul Husna). Misalnya, Allah, Hu (Dia), Hayy (Yang Hidup), Haqq (Yang Nyata), Qayyum (Yang Mandiri), Rahman (Yang Pengasih), Rahim (Yang Penyayang), dan lainnya.

Ciri khas Tarekat Rifa’iyah terletak pada zikirnya. Zikir kaum Rifa’iyah ini disebut ‘darwis melolong’ karena dilakukan bersama-sama dan diiringi oleh suara gendang yang bertalu-talu. Zikir tersebut dilakukannya sampai mencapai suatu keadaan.

Saat itu, mereka dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang menakjubkan, misalnya berguling-guling dalam bara api, tetapi tidak terbakar sedikit pun.

Sebelumnya, menurut John L Esposito dalam Ensiklopedia Oxford: Dunia Islam Modern, sebagian kaum Rifa’iyah terkenal karena mengikutkan praktik upacara, seperti menusuk kulit dengan pedang dan makan kaca.

Praktik seperti ini menyebar bersama Tarekat Rifa’iyah hingga ke kepulauan Melayu. Namun, pada masa kini, praktik-praktik tersebut tidak lagi dijalankan oleh para pengikut Rifa’iyah karena dianggap menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya.

Di wilayah Sumatera, para pengikut Rifa’iyah memainkan dabus, yaitu menikam diri dengan sepotong senjata tajam yang diiringi dengan zikir-zikir tertentu. Dabus dalam bahasa Arab artinya besi yang tajam.

Christiaan Snouck Hurgronje dalam De Acehers mengatakan, dabus dan rabana yang kerap dimainkan di wilayah Sumatera ini sangat erat hubungannya dengan Tarekat Rifa’iyah.

Dabus ini juga berkembang di Tanah Sunda, sebagaimana diungkapkan oleh C Poensen dalam bukunya, Het Daboes van Santri Soenda. Di Sumatera Barat, kesenian dabus ini dikenal dengan badabuih. Dalam Encyclopedia van Nederlandsch Oost India, disebutkan bahwa perkembangan Tarekat Rifa’iyah ini bersama-sama dengan permainan dabus.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement