REPUBLIKA.CO.ID, Allah SWT tidak menghendaki syariat sekedar menjadi aturan statis yang hanya ada dalam ajaran agama, tetapi Dia menghendaki agar aturan itu dapat diterapkan dalam kehidupan praktis manusia.
Untuk itu, Allah SWT mengutus para rasul-Nya untuk mengajarkan manusia mempraktikkan syariat dalam kehidupan sehari-hari.
Syariat yang dimaksud menyangkut tatanan kehidupan individual maupun kehidupan bermasyarakat.
Allah SWT berfirman, "(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang gaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya supaya Dia mengetahui bahwa sesungguhnya rasul-rasul itu telah menyampaikan risalah-risalahTuhannya..." (QS. Al-Jinn: 26-28).
Dalam ayat lain djelaskan pula, "Manusia itu adalah umat yang satu (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan..." (QS. Al-Baqarah: 213).
Ketentuan atau hukum Allah SWT itu ialah berupa perintah (al-awamir) atau larangan (an-nawahat), yang diwujudkan dalam bentuk taklif (penyerahan beban atau tugas) kepada manusia. Perintah-Nya wajib dilaksanakan dan larangan-Nya wajib dihindari atau ditinggalkan.
Orang yang mematuhi ketentuan Allah SWT itu akan diberi-Nya ganjaran berupa pahala dan orang yang mengingkarinya akan dibebani dosa. Dengan demikian, selain sebagai Syari', Allah SWT juga adalah Hakim (penentu hukum).
Pada garis besarnya, hukum Allah SWT berkisar antara yang harus dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan, sesuai dengan perintah dan larangan yang telah digariskan-Nya dalam tatanan syariat. Sesuatu yang mesti dilakukan disebut oleh ulama fikih dengan sebutan wajib atau fardu dan yang tidak boleh dilakukan disebut dengan haram.
Selain itu, fukaha juga melihat adanya ketentuan Allah SWT yang boleh dilakukan dan yang boleh ditinggalkan (mubah), yang dipuji jika dikerjakan dan tidak berdosa jika ditinggalkan (sunah), dan ada pula yang dipuji jika ditinggalkan dan tidak berdosa jika dikerjakan (makruh).
Ketentuan-ketentuan hukum ini tidak terlepas dari masalah dosa dan pahala, yakni dua ganjaran yang akan didapatkan oleh setiap individu akibat dari perbuatan yang dilakukannya.