Sabtu 23 Jun 2012 21:02 WIB

Inilah Etika Menyampaikan Hadis Dhaif

Hadist (ilustrasi).
Foto: Blogspot.com
Hadist (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Assalamualaikum wr wb

Ustaz, pada saat ini banyak sekali penceramah dan ustaz mengeluarkan hadis dhaif dalam ceramah dan pengajian mereka. Bahkan, ada juga yang menyebutkan hukum sesuatu ketika menjawab pertanyaan jamaahnya tanpa menyatakan apakah dalilnya itu ada dari Alquran atau perkataan ulama. Bagaimana kita menyikapi fenomena ini, Ustaz?

Hamba Allah

Waalaikumussalam wr wb

Memang ada mubalig yang dengan keawamannya di bidang ilmu syariah sering berceramah tanpa dasar kuat dan mengatasnamakan Rasulullah.Untuk mereka ada ancaman dari Rasul. Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amru, Nabi bersabda, “Sampaikanlah dariku walaupun hanya satu ayat dan ceritakanlah cerita-cerita dari Bani Israil dan tidak ada dosa. Dan, barang siapa berdusta atas namaku secara sengaja hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka.” (HR Bukhari).

Hadis di atas membuat para sahabat Nabi tidak sembarangan meriwayatkan suatu hadis dan menisbahkannya kepada Rasulullah karena takut akan ancaman beliau. Memang ada pendapat yang mengatakan, boleh menyebutkan dan menggunakan hadis dhaif dalam masalah fadhail al-a’mal (keutamaan-keutamaan amal).

Tetapi, ada beberapa hal yang seharusnya diperhatikan umat Islam dalam masalah meriwayatkan hadis dhaif ini sehingga tidak menganggap remeh masalah meriwayatkan hadis dhaif.

Pertama, pendapat itu bukanlah merupakan kesepakatan para ulama karena banyak juga ulama yang tidak setuju dengan pendapat tersebut.

Mereka mengatakan bahwa hadis dhaif tidak bisa dipakai dalam semua perkara, baik dalam masalah fadhail al-a’mal apalagi dalam masalah akidah dan hukum syariat. Di antara ulama yang berpendapat seperti ini adalah Yahya bin Ma’in, Bukhari, Muslim, al-Qhadhi Abu Bakar bin al-'arabi, Abu Syamah, dan Ibnu Hazm.

Kedua, jika dalam suatu masalah yang hendak disampaikan dan diajarkan kepada orang lain itu ada hadis sahih dan hadis hasan mengenainya maka sebenarnya kita tidak perlu lagi mengutip dan menggunakan hadis dhaif karena sudah cukup dengan hadis sahih dan hasan saja. Dan, hampir di semua masalah agama dan akhlak ada hadis sahih atau hasan yang membahasnya.

Tetapi, mungkin karena malas mencari dan tidak mau bersusah payah membuat seseorang menyebutkan dan menggunakan apa saja yang memang sudah terkenal dan sudah mereka hafal meskipun itu adalah hadis dhaif. Ketiga, para ulama juga menegaskan bahwa hadis dhaif tidak boleh diriwayatkan dengan menggunakan shighat al-jazm (lafaz yang tegas menunjukkan Nabi memang mengatakannya).

Seperti dengan menggunakan ungkapan qala, tapi harus menggunakan shigat al-tamridh (lafaz yang tidak tegas) seperti ungkapan ruwiya, dzukira, dan hukiya maka meriwayatkan hadis dhaif dengan menggunakan kata qala adalah sesuatu yang dilarang.

Keempat, para ulama yang membolehkan untuk meriwayatkan hadis dhaif dalam fadhail a-a’mal tidak membolehkannya begitu saja, tetapi mereka menetapkan batasan-batasan yang ketat, yaitu hendaknya hadis itu bukan hadis yang sangat lemah. Hadis itu berada di bawah satu kaidah dasar yang berlaku dalam syara’ berlandaskan Alquran atau hadis yang sahih.

Lalu, ketika mengamalkannya tidak berkeyakinan bahwa hadis itu benar berasal dari Nabi, tapi hanya sekadar untuk kehati-hatian. Jadi, tidak ada seorang pun dari ulama Islam terdahulu yang membolehkan begitu saja meriwayatkan hadis-hadis dhaif. Mereka menetapkan kriteria yang ketat sehingga hadis dhaif boleh diriwayatkan dan disebarkan di tengah masyarakat.

Prinsipnya, dalam sebuah perdebatan dalam masalah syariat adalah ayat berikut, “Katakanlah, tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar.” (QS al-Baqarah [2]: 111).

Wallahu a’lam bish shawab.

Ustaz Bachtiar Nasir

sumber : konsultasi agama Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement