Rabu 20 Jun 2012 21:59 WIB

Kisah Sahabat Nabi: Umair bin Saad, Tokoh tak Ada Duanya (1)

Rep: Hannan Putra/ Red: Chairul Akhmad
Ilustrasi
Foto: Blogspot.com
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Ia adalah Umair bin Sa’ad. Kaum Muslimin memberinya gelar “Tokoh yang tak ada duanya”. Cukup meyakinkan kiranya, bahwa gelar ini diberikan secara bulat oleh para sahabat Rasul yang sama-sama mempunyai kelebihan, pengertian dan cahaya kebenaran.

Ayahnya Sa’ad Al-Qari RA, yang ikut menyertai Rasulullah dalam Perang Badar dan peperangan-peperangan lain sesudahnya. Serta setia memegang janjinya, sampai ia kembali menemui Allah karena gugur sebagai syahid di pertempuran Qadisiah melawan Persia.

Sa’ad membawa anaknya sewaktu datang kepada Rasulullah, hingga anak itu pun turut berbaiat dan masuk Islam.

Semenjak Umair memeluk Islam, dan menjadi ahli ibadah yang tidak berpisah dari mihrab masjid, ia meninggalkan segala kemewahan dan pergi bernaung ke bawah sakinah atau ketenangan.

Ia selalu ingin menjadi yang terdepan. Pada shalat Jumat, ia selalu berada dalam barisan pertama. Di medan jihad, ia selalu bergegas mengejar barisan terdepan, karena ia selalu mendambakan diri untuk mendapatkan syahid. Selain itu, ia tetap tekun memperbanyak amal kebaikan, kepemurahan, keutamaan serta ketakwaan. Ia seorang yang cepat menyadari kesalahan dan sering menangisi dosanya.

Pada suatu hari, didengarnya Jullas bin Suwaid bin Shamit, yang masih jadi kerabatnya, sedang berbincang-bincang di rumahnya, katanya, “Seandainya laki-laki ini memang benar, tentulah kita ini lebih jelek dari keledai-keledai!” Yang dimaksudkan dengan laki-laki di sini ialah Rasulullah SAW.

Sedang Jullas sendiri termasuk di antara orang-orang yang memeluk Islam karena terbawa-bawa keadaan. Sewaktu Umair bin Sa’ad mendengar kata-kata tersebut, bangkitlah kemarahan dan kebingungan dalam hatinya yang biasa tenang dan tenteram itu. Kemarahan disebabkan oleh seorang yang telah mengaku menganut Islam berani merendahkan Rasul dengan kata-kata yang keji itu.

Dengan Amrah menggelegak ia ingin menyampaikan hal itu kepada Rasulullah SAW  tentang apa yang didengarnya. Tapi, bagaimana caranya? Ia tidak mau menyakiti perasaan sahabatnya, tapi ia harus berkata jujur dalam mengemukakannya kepada Rasulullah.

Ataukah ia akan berdiam diri saja lalu memendam di dalam dadanya semua yang didengarnya? Dan di mana letak kebenaran penunaian dan cinta setianya kepada Rasul, yang telah membimbing mereka dari kesesatan dan mengeluarkan mereka dari kegelapan?

sumber : 101 Sahabat Nabi karya Hepi Andi Bastoni
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement