Ahad 17 Jun 2012 07:27 WIB

Masihkah Percaya Multikulturalisme?

Multikulturalisme, ilustrasi
Multikulturalisme, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr Adian Husaini*

Renungkanlah sebuah definisi “multikulturalisme” berikut ini: “Inti dan substansi dari multikultural adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa mempedulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, atau pun agama.

Apabila pluralitas sekadar merepresentasikan adanya kemajemukan, multikultural memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang publik.” (Dari buku Panduan Integrasi Nilai Multikultur dalam Pendidikan Agama Islam pada SMA dan SMK, terbitan Kementerian Agama RI, Asosiasi Guru Pendidikan Agama Is lam Indonesia (AGPAII), TIFA Foundation dan Yayasan Rahima).

Merujuk pada definisi itu, seorang baru berhak mendapat julukan “berwawasan multikultural” jika dia mau menerima orang atau kelompok lain yang mempunyai hak yang sama di ruang publik. Siapa pun orang atau ke lompok itu, tanpa peduli apa pun budayanya, etnisnya, gendernya, ataupun agamanya. Memang, berbagai literatur menjelaskan, multikulturalisme bukan hanya mengakui adanya keragaman, tetapi juga harus mau mengakui “kesederajatan” di antara budaya dan agama apa pun!

Dengan definisi semacam ini, multikulturalisme sedang mendorong seorang Muslim untuk melepas wawasan keimanannya. Muslim dijerat untuk berpikir bahwa tiada beda antara tauhid dan syirik. Agama diletakkan dalam ranah pribadi. Di ranah publik, semua harus di perlakukan sama. Jangan peduli, apakah agama dan budaya itu sesat atau bejat. Yang pen ting agama, yang penting budaya! Kata mereka, negara tidak berurusan dengan soal kebenaran atau kesesatan. Negara harus bersikap netral!

Mungkinkah multikulturalisme dengan makna seperti itu diterapkan?

Pada 17 Oktober 2010, Kanselir Jerman Ange la Markel menyatakan bahwa multikulturalisme telah gagal. Markel menyatakan, adalah ilusi bahwa orang Jerman dan pekerja asing bisa hidup berdampingan secara da mai. Kata Markel, “ it had been an illusion to think that Germans and foreign workers could live happily side by side.” Meskipun Markel mengakui bahwa Jerman terbuka untuk imigran, tetapi posisinya sejalan dengan Horst Seehofer, yang satu pekan sebelumnya menyerukan agar Jerman menyetop imigran dari Turki dan Arab. Bahkan, Seehofer menyatakan, “ Multiculturalism is dead.” ( http://www.guar dian.co.uk/ world/2010/oct/17/angelamerkel- germany-multiculturalismfailures).

Pada 5 Februari 2011, BBC London juga menyiarkan pidato PM Inggris David Cameron yang menyatakan bahwa multikulturalisme telah gagal. “State multiculturalism has failed,” kata Ca me ron. Lebih lanjut Came ron ber ujar, “ Frankly, we need a lot less of the pas sive tolerance of recent years and much more active, muscular liberalism.” (http://www. bbc.co.uk /news/ukpolitics- 12371994)

                                                                                  ***

Kedua pemimpin Ero pa itu sedang bicara fakta. Bahwa, memang, di Eropa posisi Muslim tidak sama dengan posisi kaum mayoritas di sana. Lihat saja posisi-posisi strategis dalam pemerintahan! Apakah Muslim juga mendapatkan hak yang sama dengan agama mayoritas?

Bagi kaum sekuler—yang membuang nilai-nilai agamanya sendiri dalam memandang per bedaan sosial—tak ada beda antara syirik dan tauhid, tiada beda antara benar dan salah. Yang penting, persepsi dan nilai-nilai pribadi jangan dibawa ke ruang publik.

Perspektif sekular semacam itu, tentu sangat sulit diterima seorang Muslim. Sebab, Muslim selalu berusaha “bersama Islam” dalam sikap dan dalam pikiran. Akan sangat aneh jika seorang pejabat Muslim mengatakan dua hal berbeda seputar masalah pokok keagamaan hanya karena tempatnya berubah. Andaikan saat berada di masjid seorang presiden—dia Muslim—ditanya, “Apakah Ahmadiyah sesat?”

Karena sedang berada di masjid maka dengan tegas dia menjawab, “Ya sesat!” Usai shalat, presiden kembali ke Is tana. Lalu, dia ditanya hal yang sama, “Apakah Ahmadiyah sesat?” Karena sedang di Istana, sang presiden menjawab, “Maaf saya sedang di Istana. Jadi, saya tidak bisa mengatakan, sesat atau tidak karena saya harus bersikap netral!”

Ironisnya, di Indonesia, penyebaran paham muiltikulturalisme ini berlangsung sangat liar, nyaris tanpa kendali akademis. Keragaman makna begitu besar. Pada 2009, sang profesor di sebuah perguruan tinggi di Malang menyampaikan pidato pengukuhan guru besarnya dengan judul Silang Sengkarut Agama di Ranah Sosial.

Sang profesor mengajukan gagasan perlunya pengembangan studi agama berbasis paham multikulturalisme dan kesatuan transendensi agama-agama. Ia menulis, ”Semua agama, apa pun bentuk eksoteriknya (tata cara beribadah, tempat ibadah, ungkapan-ungkap an bahasa agama, dan perbedaan bersifat simbolik lainnya), kata Frithjop Schuon, berjumpa pada ranah transendental, yaitu Tuhan. Inilah dimensi esoteris agama, sekaligus jantung semua agama (The Heart of Religion).” (hal 46) .

Jelas, gagasan transendentalisme semacam itu tidak sesuai dengan Islam yang menggariskan bahwa setelah Nabi Muhammad SAW diutus maka syariat yang berlaku bagi umat manusia adalah syariat Nabi Muhammad SAW. Jika semua cara menyembah Allah SWT dibenarkan, lalu untuk apa Nabi Muhammad SAW diutus?

Contoh lain lagi, sebuah buku berjudul Pluralisme dan Multikulturalisme, Paradigma Baru Pendidikan Agama Islam di Indonesia(2011). Buku ini diberi kata “pengantar ahli” oleh seorang guru besar pendidikan Islam. Sang guru besar menulis, “Saat ini sudah ‘mendesak sekali membumikan’ pendidikan Islam berwawasan pluralisme dan multikulturalisme. Kesadaran akan pentingnya pluralisme dan multikulturalisme dipandang men jadi perekat baru integrasi bangsa yang sekian lama tercabik-cabik.” (hal xiv).

Jika kita renungkan, penggunaan istilah “multikulturalisme sebagai paradigma baru pendidikan Islam” itu pun sebenarnya sudah bermasalah. Jika multikulturalisme adalah konsep yang baik sejak dulu, mengapa baru sekarang dijadikan paradigma bagi pendidikan agama Islam? Apakah pendidikan aga ma Islam sejak zaman Nabi Muhammad SAW tidak berbasis multikulturalisme? Selama ratusan tahun pesantren telah berdiri di Indonesia, apakah mereka tidak berwawasan multikultural? Mana yang tepat: pendidikan Islam berbasis multikulturalisme atau pendidikan Islam berbasis tauhid? Sebagai Muslim, kita pasti lebih memilih Tauhid! Wallahu a’lam bish shawab.

*Penulis adalah Dosen Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement