Sabtu 16 Jun 2012 22:06 WIB

Waspadai, Kampanye Lesbi Berkemasan Psikologi

Demonstrasi mengecam kaum homoseksual. Ilustrasi
Foto: AP
Demonstrasi mengecam kaum homoseksual. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rita Soebagio*

Wahai umat Islam, hati-hati dan waspadalah! Mung kin, inilah penyakit baru yang akan direkomendasikan para psikolog sekuler sebagai mental disorder (gangguan jiwa) namanya homofobia!

Contoh kasusnya menimpa Darrun Ravi. Ia mantan mahasiswa Rutgers University Amerika yang dituntut 10 tahun dengan 15 tuntutan yang bermuara pada kesimpulan menderita homofobia. Dharun Ravi dianggap bertanggung jawab terhadap tewasnya Tyler Clementi, teman sekamarnya, yang bunuh diri pada 2010 (New York Time, 12 Maret 2012).

Ravi dengan latar belakang budaya India yang kuat, mengaku tidak nyaman melihat perilaku seksual Clementi yang kerap membawa teman gaynya di kamarnya. “Ketidaknyamanan” itulah yang dianggap juri di pengadilan, sebagai “bermasalah”.

Istilah homofobia adalah salah satu buah dari Gerakan Revolusi Seksual Modern yang mengarah pada legalisasi perilaku seks sejenis. Homofobia memandang aneh perilaku seksual, seperti lesbian, gay, transeksual, biseksual, seks pranikah, pornografi, dan fantasi seksual lainnya. (David Allyn, Make Love, Not War: The Sexual Revolution: An Unfet te red History. Little, Brown and Com pany, 2000), (Malik Badri, The Aids Crisis: A Natural Product of Modernity’s Sexual revolution. Kuala Lum pur: Medeena Books).

Istilah homofobia sendiri dicetuskan pada 1960-an oleh seorang psikolog George Winberg, untuk menggambarkan ketakutan yang terus menerus dan tidak rasional terhadap lesbian dan gay. Pada 1972, Winberg menuliskan dalam bukunya Society and the Healthy Homosexual. Pada saat hampir bersamaan, dari sisi prasangka sosial muncul istilah heteroseksisme, istilah yang mengandung analogi seperti seksisme dan rasisme.

GM Herek mengambarkan bahwa heteroseksisme merupakan sis em ideologi penolakan, pencemaran, dan stigmatisasi terhadap berbagai perilaku, identitas, hubungan, dan komunitas nonheteroseksual. Katanya, ini merupakan bentuk diskriminasi instutisional terhadap gay dan lesbian. (GM Herek, The Context of Anti-gay Violence: Notes on Cultural and Psychological Heterose xism. 1990. Journal of Interpersonal Violence, 5, 316-333).

Pascakasus di atas, Clementi dianggap Martir bagi dunia LGBT (Les bian, Gay, Biseksual, dan Trans gender) sementara tindakan Ravi dinilai oleh kelompok Gay Equality Forum sebagai “shocking, malicious, and heinous” (mengejutkan, berbaha ya dan keji). Penilaian kaum homo seksual terhadap kelompok hetero sek sual sudah dilakukan melalui pro pa ganda homoseksual selama 50 tahun ini.

Puncaknya terjadi pada 1989 dengan terbitnya buku yang sangat populer dalam komunitas homoseksual sehingga dianggap sebagai “kitab suci” atau manual book mereka, After the Ball: How America Will Conquer Its Fear and Hatred of Gays, karya pasangan psikolog gay, Marshall Kirk and Hunter Madsen. (Albert Mohler, After the Ball—Why the Homo sexual Movement Has Won. 2004. Crosswalk.com . June 3, 2004. Posted on Fri Jun 04 2004).

Pasangan psikolog gay, Marshal dan Hunter, memberikan pedoman bagaimana para aktivis homoseksual melakukan berbagai propaganda untuk mengubah opini publik agar homoseksual dipandang normal, tidak lagi dianggap sebagai mental illness, tetapi dipandang “sehat”. Dengan itu, masyarakat akan menerima perilaku mereka sampai mendapatkan hak khusus, tunjangan, dan hak istimewa.

Propaganda mereka dilakukan dengan cara menempatkan kaum LGBT sebagai pihak teraniaya dan kor ban dari sebuah tatanan masyarakat yang heteroseksis. Terhadap orang yang tidak setuju dengan LGBT, mereka berikan stigma sebagai orang bigot, hatters, and ignorants (fanatik, pembenci, dan bodoh). Dalam buku ini para aktivis homoseksual dan lesbianisme dibenarkan menggunakan setiap taktik, termasuk penipuan massal, berbohong, fitnah, kedengkian, intimidasi, kekerasan, dan lain-lain. Meskipun banyak akti vis pada awalnya mengutuk pende katan ini, namun setelah dirasakan manfaat dari keberhasilan kampanye propaganda mereka maka berbagai aktivis menjadi pembela utama di depan publik.

Sukses

Puncak keberhasilan kampanye LGBT adalah ketika mereka berhasil mengeluarkan homoseksual dari DSM (Diagnostic and Statistic Manual of mental Disorder). DSM-I yang disusun pada 1952 oleh APA (American Psychiatric Association) dan edisi keduanya yang keluar pada 1968, masih memasukkan homoseksual sebagai penyimpangan dalam perilaku seksual. Homoseksual pertama kali dike luar kan pada 15 Agustus 1973, yang kemudian diganti dengan isti lah Egodys tonic homosexuality pa da DSM-III.

Istilah ini ternyata menuai kritik dari berbagai kalangan. Sehingga, pada akhirnya istilah Ego-dystonic homosexuality kemudian dikeluar kan pada 1986 dan diperkuat dengan revisi DSM-IIIR pada 1987. Du kung an terhadap DSM semakin menguat ketika pada 17 Mei 1990, WHO mencabut kata “homoseksualitas” dari International Classification of Diseases (ICD). Pada 1994, APA mengeluarkan lagi DSM-IV, yang akhirnya direvisi kembali manjadi DSMIVTR (text revision) pada 2000, yang seluruhnya sudah tidak ditemukan sama sekali homoseksualitas sebagai kelainan seksual.

Sementara itu, Indonesia sendiri dalam Panduan Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa (PPDGJ) III sejak 1993 telah memasukkan homoseks dan biseks sebagai varian seksual yang setara dengan heteroseks dan bukan gangguan psikologis. PPDGJ-III merujuk pada standard dan sistem pengodean dari International Classification of Disease (ICD- 10) dan sistem multiaksis dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV).

Jika pada DSM-I dan DSM-II homoseksual masih dianggap sebagai mental disorder yang didukung oleh 90 persen anggota APA maka pada DSM-IV keadaan menjadi berbalik ketika hanya tersisa 10 persen ang gota APA yang mendukung homoseksual sebagai sebuah penyimpangan. Dengan normalisasi homoseksual oleh berbagai kalangan maka penerimaan kelompok homoseksual oleh masyarakat bergerak ke arah positif. Dunia terbagi ke dalam dua opini, kelompok homoseksual dan antihomoseksual atau kerap disebut dengan homofobia.

Berlindung di balik wacana hak asasi manusia, kelompok yang menentang homoseksual distigma sebagai penindas HAM. Jika kelompok homoseksual dianggap normal maka bagaimana pandangan dari sisi kesehatan mental tentang kelompok antihomoseksual atau homofobia?

Sampai saat ini, homofobia memang belum dimasukkan ke dalam penyimpangan perilaku di dalam DSM. Namun, melihat wacana yang semakin menguat dalam membela hak kelompok LGBT sekaligus diiringi dengan propaganda untuk menstigma kelompok yang menentang mereka. Maka, bisa jadi suatu hari nanti homofobia dimasukkan ke dalam DSM.

Kekhawatiran ini tidak berlebihan dan mengada-ngada karena diskusi publik tentang kemungkinan dimasukannya homofobia ke dalam DSM V yang sudah mulai disusun sejak 2010 dan akan dirilis pada 2012 semakin menguat.

Kasus Darrun Ravi menjadi pembuktian bagaimana sistem hukum di dalam masyarakat sudah mengarah kepada pembelaan kelompok LGBT. Media-media ternama di Amerika, sejak awal 2000-an terus menerus mengangkat pendapat para pakar psi kiater dan psikologi tentang hal ini. Mereka mulai mencoba mengkaji ulang dengan didukung riset yang sesuai dengan kepentingan mereka untuk menempatkan homofobia sebagai mentalillness (Lihat Psychiatry Pon ders Whether Extreme Bias Can Be an Illness, By Shankar Vedantam The Washington Post, Saturday, Decem ber 10, 2005).

Jika wacana homofobia sebagai kelainan jiwa semakin menguat, demikian juga dengan bigotry atau fanatik yang dianggap sebagai salah satu faktor penyebab homofobia. Dalam sejarah peradaban, homoseksual selalu berhadapan dengan konsep keagamaan. Maka, stigma fanatik dalam hal ini ditujukan kepada para pemuka dan kelompok agama yang menentang.

Salah satu tulisan yang dirilis oleh New York Times adalah satu bukti bagaimana fanatisme agama ju ga dapat mereka giring menjadi ke lain an jiwa (Lihat Bigotry as Mental Illness Or Just Another Norm oleh Emily Eakin, New York Times 15 Januari 2000). Maka, bisa jadi homophobia bigotry menjadi penyakit jiwa baru yang akan dimasukkan kedalam DSM oleh para anggota APA.

Inilah dampak buruk ilmu pengetahuan yang tidak dilandasi wahyu Allah SWT. Kaum Muslim yang berpegang teguh pada agamanya dan me ngutuk perilaku homoseksual/lesbianisme akan bisa dituduh menderita gangguan jiwa. Dan, itulah yang du lu dituduhkan kepada Nabi Luth as. (QS al-A’raf: 80-84 dan QS Hud: 82- 83).

* Penulis adalah Peneliti INSISTS, bidang Psikologi

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement