REPUBLIKA.CO.ID, Pakar hadis seperti Dr Mustafa Siba’i, Dr Umar Fallatah, dan Dr Abdul Shomad, meyakini bahwa pemalsuan hadis bermula dari terjadinya fitnah pembunuhan Kalifah Usman, fitnah terhadap Ali dan Muawiyah dan munculnya kelompok-kelompok (sekte) setelah itu. Peritiwa itu berkisar pada tahun 35 H hingga 60 H.
Ahli hadis terkemuka, Muhammad Nashruddin al-Albani dalam Silsilatul-Ahaadiits adh-Dhaifah wal Maudhu'ah wa Atsaruhas-Sayyi' fil-Ummah, mengungkapkan, hadis-hadis lemah dan palsu bermunculan sejak abad pertama Hijriah. ‘’Salah satu di antara sederetan musibah atau fitnah besar yang pernah menimpa umat Islam sejak abad pertama hijriah adalah tersebarnya hadis-hadis dha'if dan maudhu' di kalangan umat,’’ ujar Albani dalam mukadimah kitabnya.
Menurut Albani, musibah dan fitnah besar berupa hadis lemah dan palsu telah menimpa para ulama, kecuali sederetan pakar hadis dan kritikus yang dikehendaki Allah seperti Imam Ahmad, Bukhari, Ibnu Muin, Abi Hatim ar-Razi, dan lain-lain. Ia berpendapat, tersebarnya hadis-hadis lemah dan palsu di seluruh dunia Islam telah meninggalkan dampak negatif yang luar biasa.
Guru besar Ilmu Hadis pada Institut Ilmu Alquran (IIQ) Jakarta, Prof Dr KH Mustafa Ali Ya'kub, dalam sebuah wawancara dengan Republika, mengungkapkan, berdasarkan sejarah ilmu hadis, hadis palsu baru muncul pada dekade ke-4 dari tahunhijriyah sekitar tahun 40-an H, setelah terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan.
‘’Usman terbunuh pada tahun 35 H dan dimakamkan pada 36 H. Jadi, pada akhir tahun 35 H wafat dan dimakamkan hari berikutnya, awal tahun 36 H. Sejak itulah timbul kelompok-kelompok politik. Bahkan, DR Subulus Shaleh membuat angka yang pasti, pemalsuan hadis terjadi mulai tahun 41 H,’’ tutur Imam Besar Masjid Istiqlal itu.
Menurutnya, orang pertama atau kelompok pertama yang membuat hadis palsu berasal dari kelompok-kelompok politik. Guna mendukung pendapatnya, para politikus di era kepemimpinan Khalifah Ali bin Abi Thalib berupaya mencari ayat-ayat Alquran. Para politikus itu berupaya membentengi pendapat-pendapatnya dengan ayat-ayat Alquran, namun jika tak ditemukan mereka mencari hadis Nabi.
‘’Karena tidak ada hadis Nabi SAW untuk mendukung pendapat mereka, lalu mereka membuat hadis palsu,’’ ujar pimpinan Ponpes Darussunnah itu. Bahkan, Imam Muhammad Ibnu Sirrin (33-110 H) sempat menuturkan, pada mulanya umat Islam apabila mendengar sabda Nabi SAW berdiri bulu romanya.