REPUBLIKA.CO.ID,YOGYAKARTA - Kebijakan Amerika Serikat dan sekutunya memiliki andil dalam memupuk kebencian kelompok fundamentalisme sayap kanan terhadap umat Muslim. Demikian kata pengamat politik dari Institute of International Studies Universitas Gadjah Mada, Samsu Rizal Panggabean.
"Kelompok sayap kanan di Amerika dan Eropa kemudian memandang Islam dan penduduk Muslim sebagai 'entitas yang lain' dan 'sumber kekerasan' yang bisa menjadi ancaman," katanya pada diskusi "Satu Dekade Setelah Serangan Teroris 11 September 2001", di Yogyakarta, Senin.
Menurut dia, berbagai aksi kekerasan yang dilakukan kelompok sayap kanan di Amerika dan Eropa beberapa tahun terakhir, termasuk apa yang terjadi di Oslo baru-baru ini bisa dilihat dalam kerangka itu. "Stigma negatif yang begitu kuat dilekatkan oleh Amerika dan sekutunya terhadap kelompok Islam semakin memperbesar rasa tidak aman," katanya.
Ia mengatakan, Amerika memang berhasil dalam menguasai diskursus terorisme global. Namun alih-alih membawa dunia lebih aman dan damai, hal tersebut justru semakin menyuburkan kebencian dan menumbuhkan fundamentalisme agama.
"Kebijakan utilitarian Amerika, seperti yang dilakukan di Afghanistan, Irak, dan beberapa negara berpenduduk Muslim seperti Pakistan, semakin menumpuk kebencian dari kelompok Islam radikal," katanya.
Hal itu yang juga turut mendorong munculnya aksi-aksi kekerasan sebagai respons balasan. Kebijakan lunak Amerika dalam pembiayaan besar-besaran terhadap kampanye antiteror di beberapa negara, termasuk Indonesia, juga berdampak sama.
"Saat ini kita mencatat bahwa setelah satu dekade serangan 9 September 2001, aksi teror tidak semakin menyusut, bahkan terjadi dalam pola yang kompleks. Cabang-cabang Alqaidah semakin tersebar luas di beberapa kawasan seperti Afrika dan Semenanjung Arab," katanya.