Jumat 09 Sep 2011 16:09 WIB

Tantangan Komunitas Muslim Amrik jelang Peringatan Tragedi 9/11

Rep: Agung Sasongko/ Red: Didi Purwadi
Muslimah Amerika
Foto: muslimvillage.com
Muslimah Amerika

REPUBLIKA.CO.ID,DEARBORN - Sejam setelah tragedi 9/11, warga AS keturunan Arab dan komunitas Muslim bersembunyi di ruang bawah tanah. Mereka begitu takut saat mengetahui pelaku yang menyerang dua menara kembar WTC, Manhattan, New York, merupakan seorang Arab dan Muslim.

Victor Begg, pendiri Dewan Organisasi Islam Michigan, teringat mendapat panggilan telepon ketika tragedi berlangsung. "Reaksi pertama saya, ya Tuhan, jangan Muslim yang melakukannya. Sayang, ternyata pelakuknya seorang Arab dan Muslim," katanya seperti dikutip detnews.com, Jum'at (9/9).

Satu dekade telah berlalu, komunitas Arab-Amerika dan Muslim telah menjadi salah satu komunitas terbesar dan tertua di Amerika. Komunitas ini telah mengalami banyak perubahan, terutama dalam jumlah populasi.

Di negara bagian Michigan misalnya, populasi komunitas Arab-Amerika mencapai 220.000 jiwa. Sekitar 185.000 jiwa diantaranya merupakan Muslim.

Salah seorang warga keturunan Arab, Livonia Celena Khatib, selama satu dekade terakhir merasakan perbedaan besar. Sebagai seorang Muslim, ia merasa diawasi. "Sikap mereka (warga AS) terhadap umat Islam terlah berubah. Saya melihat orang-orang di sekitar begitu berhati-hati," papar ibu tiga anak yang juga seorang aktivis.

Syed Mohiuddin, warga Sinai Grace Hospital dan seorang Muslim, menyebutkan kecurigaan yang terjadi memberikan kesempatan kepada masyarakat AS bahwa Muslim Amerika ingin melindungi dan membela kehormatan negeri ini. "Kami terus bergerak dan berpikir kritis untuk menilai identitas dan apa makna kehadiran kami bagi negara ini," kata dokter berusia 28 tahun.

Diskriminasi Ras

Apa yang dirasakan Khatib dan Mohiuddin dialami pula oleh Muslim AS lainnya. Dalam jajak pendapat Gallup, hampir setengah dari Muslim yang disurvei mengatakan mereka secara pribadi mengalami diskriminasi ras atau agama.

Tak lama setelah serangan 9/11, kelompok antaragama lokal bekerja untuk membangun jembatan antara Kristen, Yahudi dan Muslim. Tapi, dua tahun lalu, hubungan yang terjalin mengalami kemunduran. Itu terjadi lantaran ulah seorang pria berusia 23 tahun kelahiran Nigeria, Umar Farouk Abdulmutallab, yang berusaha meledakkan pesawat Northwest Airlines di atas langit Detroit pada Hari Natal 2009.

Semenjak peristiwa itu, ungkap Begg, terjadi peningkatan sentimen anti-Muslim sekaligus memicu 25 negara bagian untuk mengeliatkan fanatisme anti-Islam."Lagi-lagi, Islamophobia menguat karena retorika ekstrim dan argumen konyol tentang syariah," kata Begg.

Dawud Walid, Direktur eksekutif CAIR-Michigan, mengatakan wilayahnya telah menjadi 'sarang' untuk kelompok pendukung anti-Islam ekstremis. Sebut saja, Gereja Westboro, Terry Jones dan Rabi Nachum Shifren yang datang untuk mengusung semangat anti Islam.

Profesor Universitas Michigan-Dearborn, Sally Howell, mengatakan reaksi nasional terhadap Arab dan Muslim telah melahirkan pengawasan secara ketat. Bagi pemerintah AS, komunitas Arab-Amerika dan Muslim. seolah-olah merupakan ancaman bagi masyarakat.

Selama satu dekade terakhir, pemerintah federal telah meningkatkan upaya untuk membasmi teroris melalui kekuatan hukum seperti USA Patriot Act. Sehingga, kebijakan tersebut memudahkan pengawasan dan penangkapan.

''Mereka berperan besar dalam mengabadikan stereotipe Muslim sebagai ancaman keamanan nasional. Ini benar-benar membuat stres bagi komunitas Muslim," kata Howell.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement