Jumat 25 Jul 2025 10:00 WIB

Obama Jadi Sasaran Pembunuhan Usai Dituduh Trump Berkhianat

Juru bicara Gedung Putih mengatakan, Presiden Trump mengutuk kekerasan.

Former U.S. president Barack Obama speaks during a discussion at the Stavros Niarchos Foundation Cultural Center (SNFCC), in Athens, Greece, Thursday, June 22, 2023. Obama is visiting Athens to speak at the SNF Nostos Conference focused on how to strengthen democratic culture and the importance of investing in the next generation of leaders.
Foto: AP Photo/Thanassis Stavrakis
Former U.S. president Barack Obama speaks during a discussion at the Stavros Niarchos Foundation Cultural Center (SNFCC), in Athens, Greece, Thursday, June 22, 2023. Obama is visiting Athens to speak at the SNF Nostos Conference focused on how to strengthen democratic culture and the importance of investing in the next generation of leaders.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Mantan Presiden Amerika Serikat Barack Obama dilaporkan menjadi sasaran ancaman pembunuhan dan seruan pemenjaraan  setelah Presiden Donald Trump dan direktur intelijen nasional (DNI) Tulsi Gabbard menuduhnya berkhianat karena menggunakan  pengaruh Rusia dalam pemilihan presiden sebelumnya.

Menurut laporan Global Project Against Hate and Extremism (GPAHE), komentar media sosial yang menyerukan pemenjaraan atau eksekusi Obama melonjak antara 17 dan 20 Juli, setelah pemerintah mengeklaim pemerintahan Obama "memanipulasi dan menyembunyikan" informasi penting tentang sejauh mana Rusia terlibat dalam Pemilu 2016. Obama membantah tuduhan tersebut, lapor Newsweek, Kamis (24/7/2025), seperti dilansir Republika di Jakarta.

Baca Juga

Juru bicara Gedung Putih Davis Ingle mengatakan, "Presiden Trump dan seluruh pemerintahannya mengutuk keras segala bentuk kekerasan. Pemerintahan Trump juga percaya pada akuntabilitas dan bahwa individu yang terlibat dalam aktivitas kriminal harus ditindak sesuai hukum yang berlaku."

Seorang juru bicara DNI mengatakan, "DNI Gabbard mengutuk keras segala bentuk kekerasan. Direktur juga percaya pada upaya mengungkap kebenaran, menyelidiki pelanggaran, dan menuntut pertanggungjawaban mereka yang terlibat dalam kegiatan kriminal seberat-beratnya sesuai hukum."

Newsweek mengaku sudah mencoba menghubungi kantor Obama melalui email untuk mengomentari berita ini.

photo
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald John Trump. - (White House)s

Ancaman tersebut bermula setelah Gabbard merilis laporan pada Jumat lalu yang menuduh Obama dan anggota pemerintahannya merekayasa informasi intelijen mengenai campur tangan Rusia dalam Pemilu 2016. Intervensi tersebut dinilai meletakkan dasar apa yang disebut sebagai upaya kudeta yang telah berlangsung bertahun-tahun terhadap Presiden Trump.

Ia mengatakan akan merujuk para pejabat tersebut ke Departemen Kehakiman untuk dituntut. Pada Ahad,  Trump memberikan tanggapan dan mengunggah video yang dihasilkan AI ke platform media sosialnya, Truth Social. Video tersebut menunjukkan Obama ditangkap dan dijebloskan ke penjara.

Sejak saat itu, antara 17 dan 20 Juli, komentar yang menargetkan Obama melonjak di Truth Social, Gab, dan Telegram, demikian temuan para peneliti. Di Truth Social, komentar yang menyebut Obama berkhianat dan pantas dipenjara atau dieksekusi meningkat dari tiga menjadi 36, meningkat 1.100 persen. Di Telegram, komentar semacam ini meningkat dari nol menjadi 12.

GPAHE mengatakan kepada Newsweek: "Penelitian GPAHE terus menunjukkan lonjakan retorika fanatik dan kekerasan daring setiap kali presiden menargetkan orang-orang dengan unggahan daringnya. Kombinasi unggahan Direktur Gabbard dan Presiden Trump yang sarat konspirasi dan rasis, tidak hanya mengobarkan semangat ekstremis, tetapi juga semakin menormalkan bahasa dan gagasan yang sama sekali tidak dapat diterima dalam demokrasi yang berkembang. Kita, sebagai bangsa, tidak dapat berkontribusi pada normalisasi ini dengan tetap diam."

 

 

photo
Mantan presiden AS Barack Obama- (EPA-EFE/CJ GUNTHER)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement