Kamis 12 May 2011 14:53 WIB

Setelah Kematian Osama, Muslim AS Menemukan Harapan

Muslim AS dalam ibadah shalat Jumat, di Islamic centre, Park51, dekat Ground Zero pada 6 Mei lalu. Mereka optimis kematian Osama dan gerakan demokrasi di dunia Arab dapat memperbaiki hubungan Muslim dan Barat yang memburuk akibat tragedi 9/11.
Foto: AP PHOTO
Muslim AS dalam ibadah shalat Jumat, di Islamic centre, Park51, dekat Ground Zero pada 6 Mei lalu. Mereka optimis kematian Osama dan gerakan demokrasi di dunia Arab dapat memperbaiki hubungan Muslim dan Barat yang memburuk akibat tragedi 9/11.

REPUBLIKA.CO.ID, DEARBORN, Mich. - Tak lama setelah kematian Osama bin Laden ditayangkan di seluruh dunia, Linda Sarsour menulis di akun Twitternya, "Osama bin Laden mati. Bagus, kini bisakan saya mendapat kembali identitas saya, 10 tahun adalah waktu yang lama. Bisakah menjadi Muslim dan warga Palestina kembali 'keren' lagi?

Kurang dari 140 karakter, aktivis asal New York itu seperti merangkum pandangan banyak pemuda Muslim di Amerika. Mereka berharap kematian pemimpin Alqaidah dan kebangkitan prodemokrasi yang menyapu di dunia Arab dapat membantu menghapus kecurigaan dan ketakutan yang muncul dari non-Muslim, pandangan yang telah melekat selama hampir satu dekade.

Serangan teror 11 September secara dramatis telah meningkatkan tekanan dan pemantauan terhadap komunitas Muslim, teman, kerabat dan keluarga. Mengkritik pemerintah AS sekaligus mengecam terorisme, atau bahkan keluar rumah dengan kerudung, kadang menghasilkan pelecehan atau ancaman.

Linda pun merasakan perubahan itu tak lama setelah serangan terjadi. Tiba-tiba saja warga di lingkungan Brooklyn tempat ia tinggal, kehilangan antusias untuk mengenal Muslim yang tinggal dalam blok itu. "Bin Laden telah membajak identitas kami dan membuat Muslim AS sinonim dengan sosok pembunuh," ujarnya.

Sementara, menurut seorang Muslim yang tinggal di Detroit, Ali Sheblei, 31 tahun, penembakan Bin Laden pada awal Mei lalu di Pakistan dipandang mempersempit ruang bagi mereka yang kerap memanfaatkan namanya untuk menghasut Islamofobia. "Kini masyarakat memiliki ruang untuk bernafas, sedikit berjarak dari penyebar kebencian dan ketakutan serta mulai berpikir rasional lagi,"

"Saya bisa memaparkan itu karena saya merasakan atmosfernya. Saya merasa ia pergi, dan bersamanya semua beban terangkat di dua belah pihak, baik Muslim dan non-Muslim," kata Ali.

Senada juga diungkapkan lulusan Kansas Wesleyan University, Umar Issa, yang tumbuh besar di Los Angeles. Selama ini merasa telah didiskriminasi karena bin Laden--kadang sikap itu datang dari temannya yang membuat gurauan menyakitkan. "Pemimpin teror itu, pada dasarnya telah menggerogoti seluruh agama saya," ujarnya.

"Kini kematiannya memberi kesempatan untuk sikap saling memahami antara rakyat Amerika dengan Muslim," ujar Issa, 18 tahun. "Saya gembira mendengar itu. Diskriminasi yang saya hadapi yang juga dihadapi teman-teman seagama, sudah waktunya berakhir."

Ia juga mengatakan geliat demokrasi yang berhasil menggulingkan pemerintah otoriter di Mesir dan Tunisia, yang kini menjalar ke negara lain, yakni Libya dan Suriah, juga turut berperan mengubah presespi negatif atas Muslim. Issa memandang itu berarti rakyat tak menyukai pemimpin yang tak mewakili mereka dan menghendaki demokrasi, sehingga jelas mereka pun menolak bin Laden.

"Sangat menginspirasi. Mereka berjuang demi pandangan mereka," ujarnya. "Tidak ada pesan berideologi Alqaidah sama sekali dalam semua gerakan revolusi yang terjadi di Arab," imbuhnya. "Meski mayoritas masyarakat di Arab adalah Muslim, namun gerakan ini memberi pesan kebebasan sekaligus menunjukkan bagaimana pencerminan Islam seharusnya.

Ungkapan lega itu juga disertai sikap kehati-hatian. Omer Chaudri, 32 tahun, karyawan di distrik keuangan di New York, mengatakan kematian bin Laden tidak akan mengubah segera presepsi yang telah berkembang selama satu dekade. Namun ia tetap berharap warga akan melihat Muslim juga sama seperti tetangga yang lain, kolega ataupun teman sekelas lain.

Ia menyangsikan pandangan itu akan terbentuk bila saat ini Laden masih bebas berkeliaran. "Tidak semua melihat kematian bin Laden sebagai akhir, tapi cenderung sebagai awal mula upaya panjang yang sulit untuk memulihkan citra Islam," ujarnya

"Ia telah meninggalkan warisan kekacauan dan kami adalah orang-orang yang akan membersihkan," ujar Zeinab, Chami, 26 tahun, kini tinggal di Dearborn, kawasan di AS dengan masjid terbesar sekaligus rumah komunitas Timur Tengah terbesar yang telah terbentuk lebih dari satu abad lalu.

"Osama bin Laden pada akhirnya hanyalah satu orang. Di luar sana masih banyak Osama bin Laden berkeliaran," ujarnya di Islamic center di Dearborn. "Saya bahagia ia tak lagi hidup, tapi kita tak boleh lengah terhadap fakta bahwa ia telah membuat orang-orang curiga terhadap Islam."

Isaa pun meyakini hal yang sama. Mesti melegakan, kematian Osama bukanlah akhir. Komunitas Muslim harus terus bergerak untuk merangkul semua anggota masyarakat.

"Satu-satunya Al Quran yang akan dibaca oleh kaum non-Muslim adalah anda dan kepribadian anda," ujarnya. "Saya pikir saya bersedia untuk melakukan itu, berkorban untuk terus setia berbuat baik meski menghadapi diskriminasi demi membantu orang-orang memahami arti agama ini," ujarnya

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement