REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Seseorang yang baru memutuskan masuk Islam menurut Al Quran, tercantum dalam Surat At-taubah ayat 60, adalah orang-orang yang termasuk dalam mustahik (penerima) Zakat.
Mualaf, menurut pengurus Masjid Lautze, Yusman Iriansyah, berhak mendapatkan zakat, karena mereka merupakan kelompok yang perlu dirangkul dan diperhatikan .
Perhatian, itu imbuhnya harus diberikan sesama saudara umat Islam, baik secara psikologi, akidah maupun material. Apalagi sebagian dari mualaf cenderung kuat secara akidah namun tidak mampu secara finansial.
Yusman menuturkan kebanyakan lembaga-lembaga penyalur amil dan zakat nasional kurang memperhatikan masalah mualaf. Padahal menurut dia, perhatian sangat penting demi memudahkan pembinaan mualaf.
"Pembinaan tidak bisa sebatas membimbing yang bersangkutan untuk hanya mengucapkan dua kalimat syahadat," ujarnya. Ia menekankan perlu langkah lanjutan seperti pendalaman pengenalan terhadap Islam.
“Inilah yang kurang mendapatkan perhatian,” kata dia saat dihubungi republika.co.id, Selasa Sore.
Yusman mengakui, lembaga pembinaan mualaf yang ia jalankan sempat mencicipi bantuan dari salah satu lembaga penyalur amil dan zakat. Itupun sudah empat tahun yang lalu.
Walhasil, ia kini selalu memutar otak mencari sumber keuangan agar pembinaan mualaf tidak sekadarnya. Yusman menginginkan pembinaan yang ia lakukan mengandung unsur kepedulian yang bisa menenangkan hati mualaf yang mungkin belum stabil.
Sebab, menurut Yusman, para mualaf perlu dirangkul baik melalui perhatian, mulai secara simbolis seperti pemberian mukenah, sajadah, baju koko, dan Alquran hingga pendidikan mengenal Islam secara gratis.
“Akhirnya kami tidak mengandalkan bantuan. Karena kami sadar pembinaan dan dakwah harus dilakukan,” kata dia.
Hal senada juga dilontarkan pendiri Pesantren Pembinaan Mualaf, Yayasan Annaba Center, Syamsul Arifin Nababan. Ia mengatakan minimnya penyaluran bantuan kepada mualaf yang berasal dari lembaga -lembaga amil dan zakat menandakan adanya fokus yang berbeda.
Sebab, seperti yang ditekankan Yusman hak mualaf sebagai mustahik tidak boleh diabaikan. “Kalau memang masalahnya ketidakpercayaan, seharusnya ada tim lapangan yang bisa melihat apakah bantuan itu benar dialokasikan untuk mualaf atau diselewengkan,” kata dia.
Nababan mengakui, pihaknya sempat mendapatkan bantuan dari salah satu lembaga amil dan zakat nasional, namun terputus tanpa alasan. Padahal, bantuan itu penting guna menunjang operasional pembinaan mualaf di tempatnya.
Pasalnya, berbeda dengan pembinaan mualaf lainnya, pembinaan mualaf ditempatnya berbentuk pesantren yang memberikan pengetahuan tentang Islam kepada mualaf secara intensif. Karena itu, membutuhkan biaya operasional yang lebih besar terutama untuk memenuhi kebutuhan makan, gaji guru, kebersihan, dan biaya operasional lainnya.
Untuk sebulan saja, pihaknya membutuhkan 15 juta rupiah. “Itulah kelemahan dari sistem penyaluran zakat kita. Kalau memang bermuat kepentingan pribadi tentu bisa dinilai dari survey,” ungkap dia.
Karena itu, ke depan, Nababan mengharapkan Lembaga Amil dan Zakat untuk lebih peka lagi dalam melihat pentingnya pembinaan mualaf. Menurut dia, kalau memang lembaga-lembaga amil dan zakat mengkhawatirkan adanya penipuan, prosedural pemberian bantuan tentu bisa diperketat.
Minimal ada respon cepat. “Harus saya akui responnya sangat lambat sekali. Jadi, tidak heran pembinaan mualaf juga melambat." ujarnya