Selasa 02 Feb 2016 08:28 WIB

Banyak Jalan Menuju Sedekah

Sedekah (ilustrasi)
Foto: Tahta Aidilla/Republika
Sedekah (ilustrasi)

Oleh: Ina Salma Febriany

 

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selain diberikan kewajiban untuk mendirikan shalat dan berpuasa, Allah juga memberikan kewajiban bagi umat Islam untuk menyisihkan rezeki. Shalat dan puasa; sebagai bentuk keshalehan individu kepada Allah akan terasa sempurna dengan sedekah sebagai bentuk keshalehan sosial kepada sesama. Menyeimbangkan kedua bentuk keshalehan ini memang belum mudah bagi sebagian orang. Ada di antara kita yang keshalehan individunya lebih kuat, namun keshalehan sosialnya kurang. Mungkin ada pula yang berbaginya kuat, namun beribadah untuk-Nya melemah. Bahkan, mungkin ada pula yang ingin berbagi, namun ia tak banyak memiliki apa-apa untuk dibagi.

Adalah Ulbah bin Zaid, salah satu sahabat Rasulullah yang ingin sekali bersedekah, tapi ia tidak memiliki apa-apa. Tatkala ia melihat para sahabat sedang berkumpul mengelilingi Rasulullah di masjid Nabawi, Abu Bakar datang sambil membawa uang sebanyak 4000 dirham, lalu beliau serahkan kepada Rasulullah guna keperluan perang. Disusul kedatangan Umar dengan membawa setengah hartanya. Lalu, Usman membawa 1000 dinar dan menyerahkannya. Tak lama, Abdurrahman bin auf membawa 200 uqiyah perak, dan disusul oleh para sahabat yang lain masing masing dengan membawa hartanya. Semua diserahkan kepada Rasul sebagai sedekah.

Betapa sedihnya Ulbah kala itu. Ia pun pulang dengan membawa dukanya yang mendalam lalu di pertengahan malam, ia bersujud lalu menangis. Ia adukan keresahan dan keinginannya yang begitu ingin bersedekah, namun apalah daya, untuk makan saja susah. Rupanya, Allah tidak menyia-nyiakan airmata ulbah yang mengalir deras di sepertiga malam-Nya. Allah memberitahukan Jibril dan Jibril memberitahukan kedukaan Ulbah kepada Rasulullah. Keesokan harinya, saat Rasulullah berkumpul dengan para sahabat, beliau bertanya, “Siapakah yang tadi malam bersedekah?” para sahabat terdiam, mereka merasa tidak ada yang bersedekah semalam, termasuk Ulbah. Ia merasa dirinya tidak bersedekah apa-apa.

Rasulullah pun bangkit dan akhirnya menyeru kepada Ulbah, “Wahai Ulbah, engkaulah yang telah bersedekah. Bergembiralah karena Allah telah menerima sedekahmu. Allah telah mencatat tangisanmu itu sebagai sedekah,” Ulbah pun tertunduk, ia tak kuasa menitikkan airmatanya.

Keinginan Ulbah yang ingin sekali bersedekah, rupanya dijawab oleh Allah. Ulbah hanya melakukan apa yang ia mampu; ia menangis manakala dirinya tak semampu Umar, Utsman, Abu Bakar ataupun Abdurrahman bin Auf sang dermawan. Tapi, Allah Yang Maha Mengetahui takkan pernah menyia-nyiakan airmata hamba-hambaNya. Menangis di penghujung malam karena menyesali diri yang tak mampu bersedekah dan memohon ampunan pada-Nya juga termasuk bersedekah.

Dalam suatu hadits, Rasulullah Saw bersabda. Dari Abu Dzar ra bahwasannya sejumlah sahabat Rasulullah Saw berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah pergi dengan membawa pahala yang banyak. Mereka shalat sebagaimana kami shalat. Mereka berpuasa sebagaimana kami puasa dan mereka bersedekah dengan kelebihan harta yang mereka miliki sedangkan kami tidak mampu bersedekah (karena miskin). Rasulullah Saw pun bersabda, “Bukankah Allah telah memberimu jalan untuk bersedekah? Sesungguhnya setiap tasbih adalah sedekah. Setiap tahmid adalah sedekah. Setiap tahlil adalah sedekah. Setiap takbir adalah sedekah. Setiap amar ma’ruf nahi munkar adalah sedekah dan setiap jimak kalian terhadap isteri adalah sedekah,” Mereka bertanya, “Ya Rasulullah, apakah seseorang di antara kami yang menyalurkan syahwatnya itu berpahala?” Jawab Rasulullah, “Bagaimana menurut kalian jika hal itu disalurkan dengan jalan yang haram? Bukankah baginya dosa? Demikian pula jika disalurkan dengan jalan yang halal, maka baginya berpahala,” (HR Muslim)

Melalui hadits ini, Rasulullah Saw memberikan problem solving kepada para sahabat agar bagaimana mereka tetap bersedekah meski bukan dalam bentuk uang. Sebab banyak sahabat di zaman Rasulullah yang tidak memiliki harta benda untuk disedekahi. Jangankan bersedekah, untuk mengisi perut sehari-hari saja susah. Bahkan, dalam sebuah hadits, sahabat Rasulullah yang miskin harus bekerja agar mereka mampu bersedekah.

Dari Abu Mas’ud Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam jika memerintahkan kami untuk bersedekah, maka salah seorang diantara kami (yang miskin) berangkat ke pasar dan menjadi kuli angkut, hingga ia mendapatkan upah satu mud (sekitar 7 ons) untuk ia sedekahkan. Namun kini sebagian orang pada zaman sekarang memiliki 100 ribu dirham (tapi ia kikir untuk bersedekah).” (HR. Bukhari no. 1416 dan Muslim no. 1018)

Kuatnya para sahabat dalam bersedekah yang seolah ‘tidak sayangan’ ini karena mereka meyakini betul firman Allah dalam surah Al-Baqarah bahwa siapa saja yang bersedekah untuk Allah, maka Allah-lah yang akan melipatgandakan apa yang disedekahkan, “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. al-Baqarah [2]: 245)

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-Baqarah [2]: 261)

Dua ayat di ataslah yang menguatkan keyakinan batin para sahabat sehingga mereka mampu bersedekah sebanyak harta yang mereka miliki. Jika pun dari mereka tidak mampu bersedekah dengan harta, maka dzikir dan berbuat baik adalah juga termasuk sedekah. Banyak jalan untuk bersedekah cukuplah Allah sebagai sebaik-baik pemberi balasan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement