Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Pengetahuan yang diperoleh melalui olah nalar disebut dengan ilmu (‘ilm) dan pengetahuan yang diperoleh melalui olah batin disebut makrifat (ma’rifah).
Secara kebahasaan kata ‘ilm berasal dari akar kata alima ya’lamu yang berarti mengetahui, seakar kata dengan ‘alam berarti tanda, petunjuk, bendera; ‘alamah berarti alamat atau suatu tanda yang melalui dirinya dapat diketahui sesuatu yang lain (ma bihi ya’lamu al-syai).
Alam adalah tanda menunjuk kepada (adanya) Allah SWT. Alam juga sekaligus memberikan kesadaran dan pengetahuan tentang Allah SWT. Dari segi kebahasaan dapat ditangkap makna ‘ilm dan ‘alam memiliki konotasi fisik dan mekanik (hushuli).
Sedangkan makrifah berasal dari kata ‘arafa yurif memiliki berbagai makna yang lahir dari padanya, antara lain mengetahui dan mengenal lebih dalam (i’rfah), pengakuan dosa (i’tiraf), wuquf di Arafah (‘arrafah al-hujjaj), padang Arafah (‘arafat), tempat antara surga dan neraka (a’raf), bersetubuh (‘arafah al-ma’ah), saling mengenal satu sama lain (ta’aruf), warisan tradisi lama yang positif (‘urf), terkenal, masyhur (ma’ruf), ilmu pengetahuan luas (ma’arif), dan pengetahuan yang mendalam dan komperhensif (‘irfan, ma’rifah). Dari segi kebahasaan dapat difahami makna ma’rifah memiliki konotasi lebih tinggi dan agung (hudhuri).
Dengan perbedaan tersebut maka dengan sendirinya antara ilmu dan makrifat memiliki ontologi, epistimologi, dan aksiologi yang berbeda satu sama lain. Perbedaan ini bisa difahami melalui perbedaan antara ilmu-ilmu hushuli dan ilmu-ilmu hudhuri.
Secara ontologi, ilmu (‘ilm) masih lebih banyak berkutat pada wilayah logika manusia. Referensi yang digunakan untuk memahami ilmu juga masih bersifat fisik dan visual, meskipun dalam tingkatannya yang lebih tinggi—khususnya dalam level filsafat makna—sudah ada yang mulai bertumpang tindih dengan level awal ontologi makrifah.
Ontologi makrifat, sebagaimana arti dasarnya lebih mengacu kepada wilayah-wilayah yang dapat dikatakan asing (unknown) bagi para ahli ilmu pengetahuan (saintis).
Meskipun demikian, sesungguhnya para saintis tidak bisa serta merta menafikan keberadaan ontologi keilmuan makrifat karena secara de facto banyak peristiwa yang diungkap oleh pengetahuan makrifat sulit dibantah oleh para saintis.
Sebutlah contoh tentang efek keberadaan Tuhan yang dulu dinafikan oleh para saintis positifisme, tetapi di dalam era post-modernisme mulai diberi ruang. Terakhir para saintis dalam era New Age tidak bisa menyembunyikan adanya Godspot di dalam diri manusia. Kini para ilmuwan modern, sesekuler apa pun mereka, tidak dapat lagi terus menerus “menyerang” kaum agamawan (baca: agnostic) karena mereka sendiri meragukan dirinya sendiri.