Sabtu 03 Feb 2018 05:46 WIB
Memperingati Haul ke-26 Sang Singa Karawang-Bekasi (1)

Anak Petani Ini adalah Pahlawan Nasional

Noer Alie aktif di pelbagai organisasi yang berhaluan nasionalisme Indonesia di Arab

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Agus Yulianto
KH Noer Alie
Foto: blogspot
KH Noer Alie

REPUBLIKA.CO.ID,  Daerah Karawang-Bekasi memiliki sosok ulama kebanggaan yang sekaligus pejuang kemerdekaan. Dialah KH Noer Alie. Hari ini merupakan haul ke-26 sosok berjulukan Singa Karawang-Bekasi itu. Jasa-jasanya sepatutnya dikenang generasi sekarang dan nanti.

Sejak 2006, namanya termasuk jajaran pahlawan yang diakui negara Republik Indonesia. Sampai kini, kiai yang lahir pada 15 Juli 1914 itu merupakan satu-satunya ulama Betawi yang mendapatkan gelar pahlawan nasional.

Noer Alie lahir dari kalangan rakyat biasa di Ujung Malang (kini bernama Ujung Harapan), Bekasi. Ayahnya, H Anwar bin Layu, bekerja sebagai petani. Sementara itu, ibunya diketahui bernama Hj Maemunah.

Meskipun hidup sederhana, semangatnya begitu besar untuk mendalami ilmu-ilmu agama. Sejak berusia delapan tahun, dia mulai belajar mengaji pada Guru Maksum di Kampung Bulak. Tiga tahun kemudian, dia menjadi murid Guru Mughni untuk mempelajari ilmu tata bahasa Arab, tauhid, dan fiqih.

Memasuki usia remaja, Noer Alie berangkat ke Kampung Cipinang Muara, Klender (Jakarta), untuk menimba ilmu dari Guru Marzuqi. Sosok Guru Marzuqi begitu masyhur dalam genealogi ulama-ulama Betawi. Kelak, belasan muridnya menjadi alim ulama yang terkemuka. Mereka semua merupakan sahabat karib Noer Ali sampai akhir hayatnya.

Dalam pandangan Guru Marzuqi, Noer Ali termasuk istimewa. Buktinya, putra daerah Bekasi ini diperbolehkan menjadi pengajar bila sewaktu-waktu Guru Marzuqi berhalangan hadir.

Saat berusia 20 tahun, Noer Alie bersama dengan KH Hasbullah pergi ke Tanah Suci. Selain untuk beribadah haji, keduanya juga hendak meneruskan pembelajaran ilmu-ilmu agama di sana. Mereka berangkat dengan budi baik seorang pengusaha, Wat Siong, yang bersedia meminjamkan uangnya.

Guru Marzuqi menasihati Noer Alie, antara lain, agar belajar pada Syekh Ali al-Maliki, pengajar ilmu hadis, setibanya di Masjid al-Haram. Maka, sampailah Noer Alie di Arab. Setelah selesai menunaikan haji, dia memulai pengembaraan intelektualnya. Sesuai pesan Guru Marzuqi, Noer Ali menjadi murid Syekh Ali al-Maliki. Di samping itu, dia juga menerima pengajaran dari banyak tokoh besar di sana.

Mereka antara lain, Syekh Umar Hamdan, pengajar Kutub as-Sittah; Syekh Ahmad Fatoni, asal Thailand Selatan, yang mengajar Kitab Iqnatentang ilmu fiqih; serta Syekh Muhammad Amin al-Quthbi yang pakar kesusastraan, tata bahasa Arab, ilmu logika, serta tauhid. Selain tiga ulama itu, dia juga belajar ilmu politik Islam pada Syekh Abdul Zalil danulum Alquran pada Syekh Ibn al-Arabi.

Di Tanah Suci, Noer Alie tak semata-mata tenggelam pada aktivitas intelektual. Sebagaimana para perantauan Nusantara di Tanah Suci, dia juga memikirkan persoalan kolonialisme yang masih mendera sebagian besar umat Islam, termasuk Indonesia.

Selang beberapa waktu, Noer Alie menerima surat-surat dari orang tuanya yang antara lain mengabarkan kondisi perjuangan kemerdekaan di Tanah Air. Noer Alie aktif pula dalam pelbagai organisasi yang berhaluan nasionalisme Indonesia di Arab. Misalnya, Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI), Persatuan Talabah Indonesia, Perhimpunan Pelajar Indonesia-Malaya, dan Persatuan Pelajar Betawi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement