REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peralihan zaman dari Orde Lama ke Orde Baru sedikit-banyak memengaruhi peta dakwah Islam yang dimotori dunia mahasiswa. Di antara ciri-cirinya, akses akademisi Muslim kian terbuka pada dunia Barat, alih-alih Timur. Hal itu cukup beralasan karena Orde Baru tidak seperti zaman Sukarno, yang condong pada negara-negara Blok Timur.
Yudi Latif dalam disertasinya, “The Muslim Intelligentsia of Indonesia: A Genealogy of lts Emergence in the 20th Century” (2004: 349) menyebut ‘Imaduddin ‘Abdulrahim sebagai satu dari empat intelektual muda Muslim yang signifikan bersekolah tinggi di Barat pada permulaan Orde Baru. Tiga nama lainnya adalah Bintoro Tjokroamidjojo (pakar administrasi negara), Subchan ZE (tokoh Nahdlatul Ulama), dan Ibrahim Hasan (kelak gubernur Aceh 1986-1993).
Bang ‘Imad--demikian ia akrab disapa--merantau untuk pertama kali ke Amerika Serikat (AS) dengan bantuan Prof Tubagus Sulaiman. Dosen teknik elektro ITB itu memang telah berencana mengorbit Bang ‘Imad ke luar negeri sejak kelulusan putra keturunan Langkat itu pada 1961.
Selama Mei-Agustus 1963, intelektual yang waktu itu berusia 32 tahun tersebut lebih dahulu kursus bahasa Inggris di University of Kentucky. Selanjutnya, studi S-2 ditempuhnya di Iowa State University dan selesai dua tahun kemudian.
Bang ‘Imad lalu mendaftar S-3 di Chicago tetapi hanya sempat menjalani dua semester di sana lantaran prahara 1965 terlanjur pecah di Indonesia. Banyak dosen yang dicap terafiliasi "kiri" ditangkapi penguasa. Akibatnya, ITB mengalami kekosongan tenaga pengajar.
Rektornya saat itu, Letkol Ir Koentoadji, memanggil pulang diri Bang 'Imad agar ikut mengajar di ITB. Pada November 1966, dia tiba di Tanah Air. Kelak, studinya dilanjutkan ke AS pada akhir 1970-an, yakni masa puncak hegemoni Orde Baru.
Perjalanannya ke AS serta negara-negara Eropa ikut mempertajam pemahaman dan kesadarannya. Pergerakan dakwah di Indonesia, menurut Bang 'Imad kala itu, jangan sampai lalai mengikuti perkembangan global. Dalam hal ini, jasa Mohammad Natsir terbilang besar.
Pendiri Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) itu mendorong Bang ‘Imad agar membangun jaringan internasional. Di mata mantan perdana menteri RI itu, semua aktivis Muslim Indonesia bagaikan anak-anaknya sendiri.
Gambar Mohammad Natsir dalam perangko tahun 2011
Bang ‘Imad sebenarnya sudah mencicipi forum internasional komunitas Muslim selama kuliah di Amerika. Sahabatnya, Ahmad Totonji, suatu kali mengundangnya ke Iowa untuk mengunjungi lembaga yang didirikannya, Muslim Students Association (MSA).
Sewaktu Bang ‘Imad menjadi dosen ITB pasca-kepulangannya dari AS, intelektual Malaysia tersebut juga mengajaknya ke Jerman guna menghadiri International Islamic Federation of Student Organizations (IIFSO). Pada 1969, Totonji menjadi sekjen pertama IIFSO, sedangkan Nurcholish Madjid (Cak Nur) wakil sekjen. Mengikuti saran Pak Natsir, Bang ‘Imad pun bergabung dengan IIFSO.
Kedekatannya dengan tokoh Masyumi itu lalu kian meningkat. Sepulang dari Jerman, Bang ‘Imad diutus Pak Natsir untuk menyampaikan suratnya sekaligus bertukar pikiran dengan tokoh-tokoh Islam dunia.
Di Palestina, dia diterima mufti besar setempat. Selanjutnya, di Karachi, Pakistan, insinyur ITB itu berdialog dengan sekjen Muktamar Alam al-Islamy, organisasi mondial yang diketuai Pak Natsir. Bahkan, dia menginap di rumah Sayyid Abul A’la Maududi (1903-1979) yang menyambutnya dengan hangat.
Keaktifan Bang ‘Imad terus berkibar. Pada 1973, sudah ada rencana pembentukan Konferensi Pemuda Islam Sedunia (World Assembly Moslem Youth). Awalnya, beberapa intelektual muda lintas negara mengandalkan dukungan dari pemerintah Libya saat itu.
Namun, rencana berubah karena penguasa setempat memaksakan paham sosialisme. Singkat cerita, WAMY akhirnya diluncurkan di Mina, Arab Saudi. Totonji menjadi sekjen organisasi tersebut, sementara Bang ‘Imad salah seorang anggota. Barulah pada 1977, putra daerah Langkat itu didaulat sebagai sekjen WAMY.
Baca juga: Ketika Bang Imad Menjadi Tahanan Politik