Sabtu 23 Feb 2019 06:08 WIB

Masa Kecil Haji Agus Salim, 'the Grand Old Man' (2)

Haji Agus Salim dikaitkan dengan RA Kartini

(ilustrasi) Haji Agus Salim
Foto: tangkapan layar e-paper Republika
(ilustrasi) Haji Agus Salim

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Enam tahun kemudian, Mashudul Haq alias Agus Salim lulus dari ELS. Sampai di sini, perlu dijelaskan terlebih dahulu soal perubahan nama tersebut.

Kustiniyati Mochtar dalam Seratus Tahun Haji Agus Salim mengungkapkan alasannya. Sederhana saja. Pihak keluarga waktu sosok itu kecil mempekerjakan seorang asisten rumah tangga dari Jawa. Anak-anak tuan rumah kerap dipanggil perempuan Jawa itu dengan sapaan sayang “Den Bagus” atau disingkat “Gus”.

Baca Juga

Tanpa terasa, orang-orang dewasa dan bahkan para guru di sekolah ikut-ikutan memanggilnya “Gus.” Mengikuti lidah orang Belanda, sebutan “Gus” ditambahkan menjadi “August” alias Agus. Salim merujuk pada nama keluarganya yang berarti 'selamat'. Jadilah: Agus Salim.

Orang tua Agus Salim memberangkatkannya ke Batavia (Jakarta) untuk meneruskan sekolah di Hoogere Burgerschool (HBS) yang lagi-lagi diisi mayoritas anak-anak Eropa.

Di tanah rantau, dia indekos di rumah keluarga Tuan Koks, seorang Belanda. Kepintarannya juga mengesankan orang-orang di sekitarnya. Lima tahun berselang, dia lulus dengan predikat tertinggi tidak hanya di sekolahnya, tetapi juga seluruh HBS di Hindia Belanda (Indonesia).

 

Murid Terpintar Senegeri

Berita itu cukup menggegerkan para pejabat kolonial, khususnya yang berfokus pada Politik Asosiasi. Orientalis Snouck Hurgronje (1857-1936) merupakan pemrakarsa kebijakan tersebut. Tujuannya untuk menjauhkan generasi Pribumi dari akar budaya dan agamanya sendiri, tetapi sambil mendekatkan mereka pada kebudayaan Barat. Harapannya, Hindia (Indonesia) dapat dibelandakan, baik secara politik maupun kultural.

Dorongan untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya membuat Agus Salim--kini seorang pemuda 19 tahun--begitu bersemangat. Dia ingin melanjutkan sekolah tinggi di luar negeri, terutama pada bidang ilmu kedokteran. Sayang, hasrat ini terbentur pelbagai persoalan.

Pada poin inilah banyak penulis dari masa kemudian menghubungkannya dengan kisah Raden Ajeng Kartini. Alkisah, putri Jawa itu mengetahui berita tentang kehebatan Agus Salim dalam menuntut ilmu.

Perempuan yang lima tahun lebih tua daripada Agus Salim itu sebelumnya mendapatkan besluit pada 7 Juli 1903. Isi surat tersebut menjamin dana untuk Kartini selama menempuh pendidikan di Belanda.

Putri kelahiran Jepara itu tentu saja gembira karena impiannya selangkah lagi terwujud berkat beasiswa. Akan tetapi, orang tuanya enggan mengizinkannya.

Alih-alih meneruskan sekolah, dia mesti menikah dengan pria yang sudah dijodohkan kepadanya. Maka dari itu, Kartini merasa tersentuh akan perjuangan Agus Salim. Kartini merasa pria itulah yang dapat meneruskan estafet harapan bukan saja dia, tetapi juga seluruh bangsa Hindia.

Walaupun belum pernah bertemu langsung dengan putra Minangkabau tersebut, pada 24 Juli 1903 Kartini menulis sebuah surat kepada Nyonya Abendanon, istri pejabat kolonial bidang pendidikan. Secara garis besar, isinya meminta agar beasiswa yang sesungguhnya menjadi haknya dapat dialihkan kepada Agus Salim.

Banyak sekali yang dapat dilakukan Salim sebagai dokter untuk rakyatnya. Dan sesungguhnyalah, adalah idaman Salim untuk bekerja untuk rakyat kita!” tulis Kartini dalam bahasa Belanda.

 

Urung ke Belanda, Jadi ke Jeddah

Hanya saja, Agus Salim tidak pernah memeroleh beasiswa. Alasannya tidak terlalu berkaitan dengan tawaran Kartini di atas.

Malahan, dia sendiri baru tahu belakangan bahwa istri bupati Rembang itu pernah menulis surat tentangnya.

Pada 1905, permohonan Sutan Muhammad Salim (ayahanda Agus Salim) kepada pemerintah kolonial, agar dua anaknya—Agus dan Jacob Salim—mendapatkan persamaan status (gelijkgesteld) dengan orang kelahiran Eropa, dikabulkan.

Namun, Snouck Hurgronje berhasil menasihati Agus agar tidak usah bercita-cita menjadi dokter karena pekerjaan ini bergaji kecil.

Mungkin ia lupa bahwa imbalan yang dikatakan rendah menurut ukuran orang Eropa itu bagaimanapun tentu termasuk tinggi untuk orang Pribumi,” kenang Agus Salim dalam sebuah tulisannya pada 1953.

Dia pertama kali bertemu orientalis tersebut pada 1880. Pun diketahuinya bahwa betapa besar pengaruh Snouck Hurgronje terhadap langgengnya Politik Asosiasi.

Setelah menerima gelijkgesteld, pulanglah Agus Salim ke kampung halaman. Ternyata, ibundanya kurang berkenan bila anaknya itu menuntut ilmu ke Eropa.

Siti Zaenab, sang ibu, lebih berbesar hati bila Agus Salim menerima tawaran terbaru Snouck Hurgronje, yakni bekerja pada perwakilan Belanda di Jeddah, Arab Saudi. Apalagi, tempat itu dekat dengan Masjidil Haram, Makkah. Sebagai informasi, pamannya yang bernama Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi kala itu sedang mengajar di Tanah Suci.

Ternyata, Agus masih bimbang antara melanjutkan studi ke Belanda atau bekerja di Arab. Sampai akhirnya, Siti Zaenab menghembuskan nafas terakhir.

Untuk menghormati pesan terakhir sang ibu, dia pun meninggalkan opsi pergi ke Negeri Tanah Rendah. “Aku langsung membeli sebuah buku kecil, mulai belajar bahasa Arab dan berangkat ke Jeddah.” Saat itu, usianya sekitar 21 tahun.

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement