Kamis 24 Dec 2015 19:22 WIB

Menafsirkan Mimpi, Bolehkah?

Rep: Hanan Putra/ Red: Agung Sasongko
Bermimpi/Ilustrasi
Foto: i-net
Bermimpi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam riwayat Auf bin Malik, Nabi SAW membagi tiga kriteria mimpi yang dialami manusia. Pertama, mimpi buruk atau menakutkan yang datang dari syetan dan membuat sedih.

Kedua, mimpi yang menggelisahkan seseorang ketika terjaga dan terus terbawa dalam mimpinya. Ketiga, mimpi yang menjadi isyarat dari 46 bagian kenabian. (HR Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Majah).

Secara ringkas, hadis dari Abu Hurairah RA menyebutkan, "Mimpi itu ada tiga macam; bisikan hati, ditakuti setan, dan kabar gembira dari Allah." (HR Bukhari).

Jika seseorang mimpi pada kategori yang pertama maka mimpi ini tak perlu diceritakan apalagi ditafsirkan. Sebagaimana riwayat dari Jabir mengisahkan seorang lelaki yang bertanya kepada Nabi SAW tentang mimpinya semalam.

"Ya Rasulullah, aku bermimpi kemarin seakan-akan kepalaku dipenggal, bagaimana itu?" tanya laki-laki tersebut.

Rasulullah SAW pun bersabda, "Apabila setan mempermainkan salah seorang dari kalian di dalam tidurnya maka janganlah dia menceritakannya kepada orang lain." (HR Muslim).

Demikian juga mimpi kategori yang kedua. Mimpi buruk yang selalu teringat bisa jadi pertanda keburukan. Maka, hendaklah si pemimpi menahan diri untuk menceritakannya kepada orang lain.

Adapun mimpi jenis ketiga mengindikasikan kebenaran. Mimpi yang baik dan menggembirakan inilah yang patut diceritakan dan dimintakan penakwilannya kepada orang saleh. Imam Malik memesankan, tidak seluruh mimpi patut diceritakan. Hanya mimpi-mimpi yang baik saja yang patut untuk diceritakan.

Hal ini berdalil dengan hadis Rasulullah SAW, "Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik-baik saja atau diam." (HR Bukhari Muslim). Demikian juga dalam hal menceritakan mimpi. Hendaklah mimpi yang diceritakan hanya mimpi yang baik-baik saja.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement