Rabu 19 Jan 2011 08:46 WIB

'Mengapa Saya Filmkan Perlawanan Muslim Inggris Terhadap Ekstremisme'

Cuplikan gambar film The Struggle Within, episode pertama film dokumenter Muslim Resistance besutan Masood Khan
Foto: SCREENSHOT THE STRUGGLE WITHIN/GUARDIAN/REPUBLIKA.CO.ID
Cuplikan gambar film The Struggle Within, episode pertama film dokumenter Muslim Resistance besutan Masood Khan

REPUBLIKA.CO.ID, LUTON - Sutradara film dokumentar asal Inggris, Masood Khan mengeksplorasi komunitas Muslim dalam karya-karya terbarunya. Ia menggambarkan bagaimana mereka berjuang melawan ekstremisme.

The Strugle Within adalah episode pertama dari film yang rencananya dibuat dalam beberapa seri. Dalam kisah itu, Muslim Salafi di Luton, mencoba menghadang retorika ekstrem yang dimunculkan oleh kelompok al Muhajiroun.

Ada alasan kuat yang mendorong Masood membesut karya tesebut. Berikut adalah penuturan sang sutradara sekaligus inspirasi dibalik serial film yang ia beri judul Muslim Resistance (Perlawanan Muslim) seperti yang ditulis oleh Guardian.

Ketika anda membaca sesuatu yang negatif tentang Muslim di media, kerap selalu diikuti oleh seseorang yang berkata,"Di mana semua Muslim moderat? Di mana semua Muslim yang menentang terorisme, melawan ekstremisme... mengapa kita tidak mendengar satu pun dari mereka?"

Kenyataannya ialah Muslim telah bekerja keras menghadang ekstremisme dalam komunitas mereka jauh sebelum tragedi pengeboman subway london 7 Juli 2005 atau bahkan sebelum tragedi WTC 11 September. Itu alasan mengapa orang-orang seperti Abu Hamza dan Omar Bakri, kini menjadi pemimpin al-Muhijiroun dalam pelarian--dijauhi oleh Muslim dari kalangan atas hingga bawah di Inggris, sebelum wajah mereka dikenal sebagai ekstrimis Islam.

Berkat kerja keras Muslim pulalah yang membuat pengikut organisasi itu hanya berjumlah ratusan, bukan ratusan ribu. Namun tak seorang pun bicara atau menulis  tentang itu.

Tumbuh besar di Inggris di era dunia sebelum 11 September 2001--rasanya aneh bagaimana seseorang melabeli hidup seseorang hanya gara-gara satu peristiwa ini--saya hanya memiliki sedikit kepedulian dengan identitas Muslim saya. Begitu pula orang-orang disekeliling saya.

Seperti halnya keturunan Pakistan yang lain, saya pun akan dipanggil 'Paki', namun saat itu, panggilan tadi adalah hal terburuk yang bisa saya alami.

Waktu pun berubah. Saudara perempuan saya, seorang guru sekolah dasar di kota di mana saya besar, menjadi waspada ketika salah satu muridnya berusia 7 tahun memanggil anak lain, seorang Muslim keturunan Arab, dengan sebutan kasar dan melecehkan. Si bocah yang melecehkan tadi terkejut begitu mengetahui bahwa saudari saya yang berkerudung ternyata adalah Muslim pula.

Ada presepsi diluar sana bahwa Muslim adalah buruk, atau bahwa mereka adalah ekstrimis, atau teroris, atau kelompok yang tak pernah memandang ancaman terorisme dengan serius. Apa yang ingin saya tunjukkan dari film-film ini yakni Muslim dari semua aliran seantusias seperti warga negara lain untuk mengusir ekstremis Islam dari Inggris.

Setiap film menyorot Muslim dari berbagai latar belakang, namun setiapnya memiliki pendekatan tersendiri untuk melawan ekstremisme. Film pertama dalam serial, The Struggle Within, melihat dari dekat beberapa tokoh Muslim di Luton, Farasat Latif dan Abdul Rehmen, yang mengikuti pemikiran dan ajaran Islam Salafi.

Para pengikut Salafi kerap dicemooh media sebagai ekstremis kacangan. Namun meski berpakaian, dan memiliki cambang yang sama dengan kaum ekstremis, mereka memiliki tujuan akhir berbeda. Hampir selama 20 tahun terakhir mereka selalu berupaya meyakinkan Muslim lain untuk tidak terlibat dengan grup macam al-Muhajiroun, yang mereka yakini telah memutarbalikkan Islam.

Perlu anda ketahui, al Muhajiroun sudah lama aktif di Luton dan juga mengorganisir protes terhadap pasukan dalam parade kepulangan mereka dari perang Irak dan Afghanistan pada Maret 2009 lalu. Setelah protes tersebut, masjid yang kerap dikunjungi Farasat dan Abdur Rehmen justru diserang oleh ekstremis ultrakanan kulit putih

Dalam film digambarkan pula bagaimana Pusat Islami Luton mencuat di media-media ketika seorang pengebom bunuh diri--yang menyerang satu distrik pusat perbelanjaan di Stockholm, bulan lalu--pernah shalat di sana. Padahal jamaah menolak dan menjauhinya begitu menyadari pandangan aslinya.

Kemudian, di film kedua saya, Under The Prayer Mat (Dibawah Sajadah), saya mengikuti organisasi berbasis di Bristol yang didanai oleh program Pencegahan Kekerasan Ekstremise. Kalsom, Shabana dan beberapa wanita lain, menyingsingkan lengan baju di masjid-masjid tua untuk mengedukasi dan memberdayakan perempuan.

Kalsoom sangat terganggu dengan tipe edukasi Islami yang cenderung melokalkan wanita, di mana mereka kerap mendapat ajaran dari para wanita yang mereka sendiri sedikit tahu tentang Islam. Maka, Kalsoom pun berupaya membuka akses terhada ulama Muslim ternama seperti Usama Hassan.

Back from the Brink, film ketiga, giliran saya membuntuti Active Change Fondation (ACF), sebuah organisasi berbasis di London. Saudara Hani dan Imtiaz Qadir yang terlibat dalam lembaga rupanya pernah terjun dalam perang Afghanistan pada 2002 untuk memerangi Inggris dan Amerika.

Namun, ketika apa yang mereka saksikan di sana mengubah pemikiran mereka sepenuhnya. Sekembalinya ke Inggris, mereka mulai mencoba meyakinkan Muslim lain untuk menolak gagasan al Qaidah dan mengingatkan pembuat kebijakan terhadap ancaman bahaya laten.

Setelah pengeboman 7 Juli 2005 di London, pemerintah membentuk program Pencegahan Kekerasan Ekstremisme. Mereka menggandeng ACF untuk menghadang ekstrimisme. Perjalanan dua saudara itu memunculkan kesadaran dalam diri mereka, tentang bagaimana ideologi ekstremisme dan retorikanya dapat membujuk pemuda Muslim untuk bergabung dengan gerakan ekstrimis. Kesadaran itulah yang mereka usung untuk menjaga jalanan di Inggris tetap aman

Ancaman yang ditimbulkan ekstremisme sangat nyata, namun saya tegaskan Muslim menentang itu. Muslim ortodok hingga Muslim liberal, semua bergabung melakukan perlawanan. Generasi orang tua saya datang ke sini pada tahun 1960-an dan 1970-an dan tak pernah menghadapi masalah macam tadi hingga 11 September 2001, dan itu pun masih ada penyangkalan terhadap situasi.

Namun generasi kita menemui tantangan ini dengan kepala tegak. Untuk semua yang terlibat dalam pembuatan film ini, Inggris adalah tanah air mereka, bukan Pakistan, bukan Saudi Arabia. Bagi saya, komitmen yang telah ditunjukkan oleh mereka dalam karya ini begitu menginspirasi. Saya harap film ini mampu menjadi pengakuan layak terhadap kerja keras mereka.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement