Senin 27 Dec 2010 23:00 WIB
Kontroversi ACT! For America (II)

Tak Ingin Disebut Anti-Islam, Sulit Dibubarkan dan tak Transparan

Brigitte Gabriel, pendiri ACT for Amerika, sekaligus penulis buku They Must Be Stopped. Ia kerap tampil di acara bincang radio dan televisi untuk berbicara tentang terorisme Islam.
Foto: Jacksonville.com
Brigitte Gabriel, pendiri ACT for Amerika, sekaligus penulis buku They Must Be Stopped. Ia kerap tampil di acara bincang radio dan televisi untuk berbicara tentang terorisme Islam.

REPUBLIKA.CO.ID, ACT! for America baik dalam skala lokal maupun nasional mampu menemukan dasar yang sama dengan anggota tea party (sebutan untuk gerakan penolakan pajak) dan konservatif ekstrim yang membantu Partai Republik mengambil alih U.S. House of Representatives ( Kongres) di pemilu pertengahan 2010.

Salah satu sekutu kunci ACT!, anggota Kongres dari Partai Republik, Peter King, RNY, mengumumkan rencana pada bulan ini mengadakan dengar pendapat tentang Muslim Amerika dan terorisme ketika ia mengambil alih pimpinan Komisi Komite Keamanan Dalam Negeri. Alasan itu pula yang membuat penentang mengatakan grup tersebut harus dibubarkan.

"Jika mereka hanyalah sekumpulan penggembira, maka mengapa orang-orang itu memiliki anggota yang duduk di Kongres atau pejabat pemerintah, yakni orang-orang berpendidikan tinggi yang memainkan kartu (Muslim)? ujar John L Esposito, guru besar Georgetown University yang mempelajari diskriminasi terhadap Islam.

"Mereka memainkan kartu itu karena sejumlah pemilik signifikan meyakini hal tersebut," ujar ilmuwan yang pernah menerbitkan buku berisi penelitian tentang suara Muslim (diterbitkan dalam Bahasa Indonesia oleh Mizan, "Saatnya Muslim Bicara"-red).

Esposito menegaskan ACT! for Amerika adalah penyebar Islamofobia. Ia menyandingkan grup itu dengan grup anti-Semit dan anti ras lainnya. Ia mengatakan ACT--bersama politisi dan simpatisan yang menyetujui pandangannya-- memanfaatkan ketakutan orang yang kian meningkat akibat trauma terorisme dan penderitaan ekonomi.

"Orang-orang tidak pernah melihat jumlah," ujar Esposito. Teroris yang mengusung Islam--ujarnya--bagian populasi yang sangat kecil namun sangat berbahaya. Itulah kelompok yang paling ditentang orang. "Mereka memang berbahaya namun tak seorang pun menyebut proporsi angka secara pasti," ujarnya.

Tolak Label Anti Islam

Meski banyak sikap mereka nyata-nyata menentang Islam, petinggi ACT! menyangkal disebut anti-Muslim. Toh, pemimpin nasional mereka sekaligus pendirinya, seorang Kristiani kelahiran Libanon, Brigitte Gabriel, berulang kali mengatakan Islam sendiri sudah menciptakan pera teroris.

Dalam bukunya  "They Must Be Stopped,"  (Mereka Harus Dihentikan), Gabriel menulis bahwa Muslim menikmati negara ini, namun belum terlepas dari godaan untuk menghentikan mimpi mereka, yakni menghancurkan Amerika Serikat.

Pada 2008,  kepada Majalah New York Times, ia tidak menyetujui keberadaan Islam karena 'menyeru membunuh orang lain'. Kemudian dalam pidato di depan pasukan khusus angkatan laut AS, SEALS, pada tahun yang sama, ia mengatakan Barat akan mengalami musibah kehancuran hingga mereka mengidentifikasikan Islam sebagai "musuh nyata'.

Dalam sebuah materi pendidikan, situs ACT! for Amerika menyebut angka kelahiran Muslim sebagai 'bom waktu kependudukan'. Dalam situsnya lembaga itu juga mengatakan Muslim moderat pun sebenarnya radikal murni.

Namun, dimintai komentar,  direktu eksekutif, Rodgers, mengatakan lembaganya tidak berprasangka dan mereka mengaku bekerja sama pula dengan Muslim yang ingin mereformasi Islam. Agama ini, ujarnya, memiliki 'masalah' yang perlu diselesaikan.

"Melekat dalam doktrin Islam adalah ideologi politik supermasi," ujar Rodgers. "Apakah setiap Muslim setuju dengan ideologi tersebut? Tidak. Apakah setiap Muslim mempraktekan ideologi itu? Tidak. Namun itu adalah ideologi politik tertentu yang menjadi akar militansi, apakah itu militansi kekerasan atau jihad budaya," ujarnya.

Namun, ketika sampai pada sumber informasi tentang Islam dan terorisme yang dipaparkan, ACT menjadi kurang transparan. Dalam laporan pajak, Kongres Amerika untuk Kebenaran, menyatakan bahwa lembaga itu melakukan 700 jam riset terhadap isu tersebut. Namun Rodgers menolak menyebutkan nama salah satu perisetnya. (bersambung)

sumber : The Florida Times-Union
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement