REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Zainut Tauhid Sa'adi berpandangan, para pemimpin dan pemuka agama sebaiknya jangan masuk ke dalam wilayah politik praktis. Pemimpin dan pemuka agama justru harus bisa menjadi pengayom dan pemandu di dalam proses perhelatan politik.
"Sehingga jalannya demokrasi bisa berjalan dengan baik sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai yang kita sepakati, yaitu nilai-nilai Pancasila dan konstitusi," kata Zainut kepada Republika di Grand Sahid Jaya, Jakarta, Jumat (9/2).
Zainut juga mengingatkan, para elit bangsa dan elit politik harus mengedepankan budaya tabayun atau klarifikasi. Budaya tabayun penting agar tidak terjebak pada suasana saling curiga dan fitnah. Para elit bangsa dan elit politik pun harus terus membangun komunikasi agar bisa mengawal proses demokrasi berjalan dengan baik.
Ia menyampaikan, para kontestan pemilu, partai politik, calon kepala daerah dan calon legislatif harus bisa menahan diri untuk tidak melakukan tindakan yang mengarah kepada perpecahan sesama anak bangsa. Hal itu bisa dihindari dengan tidak melakukan kampanye hitam (black campaign).
"Juga tidak melakukan politik uang (money politic), ujaran kebencian dan lain sebagainya," ujarnya.
Zainut menegaskan, semua kontestan dan peserta pemilu harus berlaku arif dan bijaksana dalam melaksanakan kampanye. Para kontestan harus lebih mengedepankan kepentingan umum dan bangsa di atas kepentingan pribadi dan kelompok.