REPUBLIKA.CO.ID, Banyak riwayat yang mengkisahkan shalatnya Rasulullah SAW dan para sahabat, betapa khusuk dan asyiknya mereka dalam mengerjakan shalat, sampai-sampai mereka tidak menghiraukan apa yang terjadi pada diri mereka. Salah satunya, kisah sahabat dari golongan Anshar, bernama Abbad bin Bisyr. Meski panah demi panah menancap di tubuh dan darah mengalir dari lukanya, ia tetap asyik shalat tanpa goyah sedikit pun.
Dikisahkan dari Buku yang berjudul “Himpunan Fadhilah Amal” karya Maulana Muhammad Zakariyya al-Kandahlawi Rah.a. bahwa ketika Nabi SAW kembali dari suatu peperangan, Beliau berhenti di suatu tempat dan bersabda, “Siapakah yang siap menjadi penjaga pada malam ini?” Ammar bin Yasir ra dari kalangan Muhajirin dan Abbad bin Bisyr dari kalangan Anshar berkata, “Kami siap berjaga malam.” Kemudian Nabi SAW menyuruh mereka agar berjaga di sebuah bukit. Di bukit itu terdapat jalan bagi musuh untuk menyerang.
Keduanya pergi ke bukit itu, setibanya di sana, Abbad ra berkata kepada saudaranya Ammar ra, “Mari kita bagi malam ini menjadi dua bagian. Bagian malam pertama, aku yang berjaga dan engkau beristirahat. Dan bagian kedua, engkau yang berjaga dan aku beristirahat. Sehingga malam ini dapat kita jaga secara bergantian. Jika merasa ada musuh yang datang, maka yang berjaga dapat membangunkan yang tidur. Jika kita berdua berjaga bersama-sama, bisa-bisa kita mengantuk.”
Maka Abbad ra, pemuda Anshar, mendapat bagian yang pertama dalam berjaga, dan Ammar ra, pemuda Muhajirin tidur. Sambil bertugas Abbad ra mendirikan shalat. Ternyata ada seorang musuh yang mengintainya. Dari jarak jauh, musuh itu membidikkan anak panahnya ke Abbad ra, namun ia masih tegak berdiri. Musuh pun melepaskan lagi anak panahnya, dan Abbad ra masih belum goyah.
Ketiga kalinya musuh melepaskan anak panahnya pada Abbad ra. Hal yang dilakukan Abbas adalah mencabut dan melemparkan setiap anak panah yang menancap di badan dengan tangannya. Ia meneruskan shalatnya, mengerjakan ruku’ dan sujud dengan tenang. Selesai shalat, Abbad baru membangunkan kawannya.
Ketika musuh melihat Abbas ra tidak sendiri, ia segera melarikan diri. Musuh yang seorang diri tidak tahu berapa banyak tentara Islam di tempat itu. Ammar ra melihat badan Abbad ra penuh darah dengan bekas tiga anak panah di tubuhnya.
Ammar ra berkata kepada saudaranya yang terluka, “Subhanallah, mengapa engkau tidak membangunkanku dari tadi?” Jawab Abbad ra, “Ketika tadi aku shalat, aku mulai membaca surat Al-Kahfi, dan hatiku enggan untuk ruku’ sebelum menyelesaikan surat ini. Namun aku merasa, aku bisa mati jika dipanah terus menerus sehingga tugas dari Rasulullah SAW untuk berjaga tidak tertunaikan.”
Abbad ra melanjutkan perkaatannya pada saudaranya, Ammar ra, “Aku mencemaskan keselamatan Nabi SAW. Jika tidak, akan kuselesaikan bacaan surat itu sebelum ruku’, walaupun aku harus mati.” (Baihaqi, Abu Dawud).
Ada perbedaan fiqhiyah mengenai darah yang mengalir dalam shalat. Imam Abu Hanifah rah.a berpendapat dapat membatalkan wudhu sedangkan menurut madzhab Ssyafi’i tidak membatalkakn. Barangkali seperti itulah pendapat para sahabat, atau hal itu belum diteliti karena Nabi SAW tidak ada di tempat kejadian, atau karena belum ada hukum terhadap hal tersebut. Wallahualam.