Ahad 24 Aug 2014 16:49 WIB

Ini Kronologis Pelarangan Pemakaian Jilbab di Bali

Rep: C78/ Red: Erik Purnama Putra
Prof Ida Bagus Gde Yudha Triguna (tengah).
Foto: Kemenag
Prof Ida Bagus Gde Yudha Triguna (tengah).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Percikan intoleransi oleh sekelompok umat beragama terhadap umat lain yang beda keyakinan dapat ditekan dengan meningkatkan intensitas dialog di antara keduanya. Pasalnya, faktor penyebab penyulut tidak intoleransi adalah kurangnya komunikasi atau salah paham atas suatu kasus tertentu.

“Kita perlu lebih mengintensifkan komunikasi melalui Pusat Kerukunan Antarumat Beragama atau PKUB agar dialog antarumat beragama makin intensif,” kata Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu Kemenag Ida Bagus Yudha Triguna kepada Republika, akhir pekan lalu.

Secara normatif, lanjut dia, setiap warga negara harus diberikan hak untuk melaksanakan ibadah sesuai yang diyakininya. Untuk kaum Muslim dan Muslimat, lanjut dia, umat Hindu mempersilakan mereka untuk berjilbab karena begitulah atribut keagamaan yang mereka yakini

Ida Bagus menjelaskan, setelah melakukan verifikasi ke Kantor Wilayah Agama Provinsi Bali, isu pelarangan atribut keagamaan di Pulau Dewata bermula dari surat dari perusahaan-perusahaan BUMN kepada karyawannya pada Ramadan lalu, agar memakai pakaian Muslim.

Padahal, tidak seluruh karyawan di Bali merupakan Muslim, karena warga di sana didominasi oleh pemeluk agama lain. Kemudian, sambung dia, The Hindu Center of Indonesia pun meminta agar surat seperti itu tak berlaku di Bali. “Kepala BUMN di Bali kemudian bisa memahami kawan The Hindu Center, sehingga kemudian pakaian itu tidak diberlakukan untuk semua,” ujar Ida Bagus.

Dalam ajaran Hindu, kata dia, ada ajaran bernama Catur Guru Bakti, di mana umat Hindu harus hidup berbakti kepada orang tua, guru di sekolah, teman-teman yang sama atau berbeda keyakinan serta wajib turut kepada pemerintah.

Ida Bagus menyatakan, dalam sejarah hubungan umat Hindu dan Islam, selalu berjalan dengan damai. Sebab mengutip proposisi dari George Homans, semakin tinggi frekuensi interaksi, semakin besar peluang suka-menyukai. “Di Bali, dua golongan tersebut sudah lama hidup berdampingan dan berinteraksi dengan baik,” kata rektor Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Denpasar tersebut.

Ia juga mengimbau agar seluruh umat Hindu dan umat beragama lainnya agar tidak terpancing dengan isu yang berpotensi saling membenturkan satu sama lain. Sebagai pembantu Menteri Agama, ia bertugas turut mendengungkan tentang semangat toleransi dan hidup berdampingan dengan rukun dan damai.

Dia menegaskan, dalam ajaran Budha, tidak dibenarkan bagi umatnya melakukan tindak intoleransi, apalagi melarang umat agama lain untuk menggunakan atribut keagamaan sesuai yang diyakininya. Bukanlah representasi umat bali, lanjut dia, jika dalam sejumlah media, diberitakan tentang sekelompok umat Hindu Bali yang melakukan tindak intoleransi.

“Kalau ada sekelompok kecil organisasi yang mencoba melakukan koreksi terhadap kebijakan satu perusahaan tertentu, itu adalah kesalahpahaman,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement