REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebangkitan minat tulis baca kaum Muslim baru terjadi pada tahun ke-2 Hijriyah. Ketika itu, Rasulullah SAW mewajibkan masing-masing tawanan Perang Badr yang tidak mampu memberikan tebusan untuk mengajari sepuluh pemuda Madinah membaca dan menulis.
Kemudian, Rasulullah SAW memerintahkan para pemuda itu untuk mengajarkan pengetahuan mereka kepada kawan-kawan dan saudara-saudaranya sehingga dalam waktu relatif singkat pengetahuan tulis baca menyebar ke Madinah.
Di masa kekuasaan Khalifah Usman bin Affan, tulisan mushaf Alquran masih 'gundul' (tanpa harakat) dan tanpa tanda baca. Untuk menghindari salah baca, ahli bahasa Abu al-Aswad Zalim bin Sufyan ad-Duali merumuskan tanda-tanda baca harakat dan titik atas perintah Khalifah Ali bin Abi Thalib.
Tugas ini dilanjutkan oleh dua murid Abu Aswad: Nasir bin Asim serta Yahya bin Ya'mur, yang kemudian disempurnakan oleh Khalil bin Ahmad bin Amr bin Tamim al-Farahidi al-Azdi. Sistem tanda baca ini telah memberikan nilai keindahan tersendiri pada corak ragam kaligrafi yang digarap oleh para khattat dan seniman.
Penulisan huruf Arab mengalami perkembangan yang luar biasa pada masa Daulah Umayyah (661-7450 M), khususnya pada masa Abdul Malik bin Marwan (685-705 M). Pada masa Abdul Malik inilah, untuk pertama kali, tulisan Arab digunakan sebagai tulisan resmi negara. Semua dokumen penting pada masa itu mulai ditulis dalam huruf Arab.
Pada awal berdirinya Kekhalifahan Bani Umayyah, tulisan kaligrafi mulai digunakan untuk keperluan administrasi negara. Pada perkembangan selanjutnya, tulisan indah juga digunakan di dinding istana, masjid, dan tempat lain.
Selain pada bangunan, tulisan kaligrafi pada masa itu juga bisa ditemukan pada peralatan lain, seperti meja, lemari, pedang, dan keramik. Bahkan, beberapa buku khusus, seperti Alquran, mulai ditulis dengan seni kaligrafi.