Selasa 28 Mar 2017 23:45 WIB

Babul Qawaid, Konstitusi Tertulis Kesultanan Siak

Istana Siak
Foto: wikipedia
Istana Siak

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Raja pertama Kesultanan Siak, yaitu Raja Kecik, awalnya membangun landasan pemerintahan yang mengatur bahwa pemimpin tertinggi kerajaan tersebut, kemudian dibantu oleh Dewan Kesultanan yang berfungsi sebagai pelaksana dan penasihat sultan. Dewan tersebut terdiri atas Datuk Tanah Datar, Datuk Lima Puluh, Datuk Pesisir, dan Datuk Kampar.

Model sistem pemerintahan ini bertahan hingga beberapa generasi hingga pada masa raja ke-11, yaitu Sultan Assyaidis Syarif Hasim Abdul Jalil Syarifuddin (1889-1908). Sistem pemerintahan kesultanan Siak mengalami perubahan.

Ia mengubah sistem pemerintahan, yaitu sang sultan sebagai pemangku tertinggi kekuasaan kerajaan, kemudian dibantu oleh para pejabat kesultanan yang memimpin lembaga, baik di pusat maupun daerah.

Ia jugalah yang berhasil menyusun konstitusi tertulis Kesultanan Siak Sri Indrapura yang diberi nama al-Qawaid atau Babul Qawaid. Babul Qawaid sendiri berarti pintu segala pegangan.

Babul Qawaid merupakan kitab undang-undang setebal 90 halaman yang menguraikan tentang hukum yang dikenakan pada orang Melayu, maupun bangsa lain yang berhubungan dengan orang Melayu.

Bagian utama Babul Qawaid terdiri atas 22 bab yang mencakup 154 pasal. Di dalamnya dipaparkan tentang berbagai hal yang menyangkut kehidupan dan adat istiadat Kesultanan Siak, begitu pula dengan hukumannya yang diberikan melalui proses pengadilan kesultanan ataupun pengadilan Hindia Belanda.

Ia menjadi salah satu raja yang berhasil memberikan warna baru dalam Kesultanan Siak. Ia meneruskan modernisasi dalam bidang pendidikan, membangun percetakan, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan memperkaya kerajaan dengan melakukan ekspor hasil bumi.

Ia juga membangun Balai Kerapatan Tinggi (Balai Rung Sari) dan Istana Asserayah Hasyimiah, yang diisi dengan perlengkapan mewah dan banyak yang berasal dari Eropa. Di antaranya, tempat cerutu yang terbuat dari perak, tempat gula yang dipesan khusus dari Prancis, serta alat musik gramafon dan komet buatan Jerman.

Dalam kehidupan sosial budaya masyarakatnya, pemerintah kerajaan pun ikut mengembangkan potensi rakyatnya. Pada masa pemerintahan Sultan Said Ali (1784-1810), dikembangkan kain tenun khas Siak yang kemudian dikenalkan ke dunia luar. Kain tenun ini kemudian menjadi ciri khas busana Siak yang diwujudkan dalam busana Muslim, baik untuk laki-laki maupun perempuan.

Kesenian Islam pun mendapatkan perhatian dari pihak kerajaan, terutama dalam masa kepemimpinan raja terakhir Siak, yaitu Sultan Said Kasim II. Di setiap gelaran istimewa kerajaan, ia selalu menghadirkan pentas kesenian khas Siak.

Istana pun membentuk korps musik kesenian tonil. Selain itu, dikembangkan pula tarian zapin yang bernuansa Timur Tengah, juga tari lainnya, seperti olang-olang, lukah, dan joget. Teater rakyat dan makyong pun dikembangkan oleh sanggar-sanggar di masyarakat.

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement