Senin 12 Sep 2016 06:03 WIB

Kewajiban Melunasi Utang

Hutang dalam Dolar(Illustrasi)
Foto: CCSMALBUSINESS
Hutang dalam Dolar(Illustrasi)

Oleh: Saifullah Al Ali  

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Berutang merupakan kegiatan yang umum terjadi di tengah-tengah masyarakat, baik di desa-desa, perkampungan, maupun kota-kota besar. Sebenarnya hukum berutang adalah boleh selama dalam keadaan terpaksa dan berniat untuk melunasinya. 

Hal ini diungkapkan Nabi SAW dalam sebuah hadis, "Siapa saja yang berutang, sedangkan ia berniat tidak melunasi utangnya, ia akan bertemu Allah sebagai seorang pencuri." (HR Ibnu Majah). Dari hadis tersebut dapat disimpulkan bahwa berutang dibolehkan jika berniat untuk melunasinya.

Tanda adanya niat adalah dengan mengukur kemampuan diri, apakah dengan penghasilan yang dimiliki dan dengan jangka waktu tertentu bisa melunasinya. Adanya niat juga ditunjukkan dengan keseriusan dalam penyelesaian utang, yaitu berkomitmen terhadap janji pada pemberi utang dan memprioritaskan menyelesaikan utang sebelum kesenangan yang lain. Apabila terdapat kendala dalam pelunasannya, hendaklah disampaikan dengan jelas. Selain itu, seseorang yang berutang juga dianjurkan mendoakan kebaikan atas orang yang diutanginya.

Melunasi utang sangat penting. Begitu pentingnya, Rasulullah SAW pernah tak mau menshalatkan jenazah seorang Muslim yang memiliki tanggungan utang sampai ada yang menyanggupi untuk membayarnya. Pada kesempatan lain, Rasulullah SAW juga pernah memberikan perumpamaan pentingnya melunasi utang ibarat seorang yang mati syahid berkali-kali tidak akan masuk surga karena adanya tanggungan utang.

Dalam Alquran surah an-Nisa' ayat 12, Allah SWT juga memerintahkan kepada para ahli waris untuk menyelesaikan wasiat dan utang seseorang yang meninggal dunia sebelum membagi harta peninggalannya. Pada ayat-ayat berikutnya, Allah SWT memberikan reward bagi siapa saja yang taat kepada-Nya dengan surga yang penuh keindahan dan memberikan ancaman berupa neraka yang menghinakan bagi siapa saja yang durhaka kepada-Nya.

Lalu, bagaimanakah nasib seorang mukmin yang meninggal dunia, tetapi ahli waris atau orang lain yang masih hidup tidak bersedia melunasi atau menyanggupinya? Pertama, jiwa mukmin tersebut akan terkatung-katung atau tidak mendapatkan tempat yang layak. "Jiwa seorang mukmin itu terkatung-katung dengan sebab utangnya sampai utangnya dilunasi." (HR Ahmad dan at-Tirmidzi).

Kedua, orang yang meninggal dunia dan memiliki tanggungan utang, kelak di akhirat akan dituntut untuk melunasinya dengan kebaikan-kebaikan yang ia miliki untuk diberikan kepada pemberi utang. Jika kebaikannya masih saja belum mampu melunasi utang tersebut, keburukan-keburukan pemberi utang akan dilimpahkan kepadanya. "Barang siapa meninggal dunia, sedangkan ia masih memiliki tanggungan utang, di sana tidak ada dinar dan dirham, tetapi hanya ada kebaikan dan keburukan." (HR Ahmad).

Melunasi utang begitu penting. Banyak orang yang berutang, tetapi lupa menyelesaikannya. Mereka beranggapan itu sesuatu yang sepele. Mereka berutang di banyak tempat untuk memenuhi kebutuhan tanpa berniat melunasinya. Pada akhirnya, kehidupan mereka semakin ruwet karena terlilit utang.

Betapa pun sulit kehidupan yang dialami seorang yang berutang di dunia, tidak ada artinya dengan kesulitan yang akan dihadapinya di akhirat kelak. Lagi pula, Allah SWT akan membantu seseorang yang berusaha melunasi utangnya. Yakinlah, Allah SWT tidak akan membiarkan seorang hamba yang berusaha taat kepada-Nya berada dalam kesulitan. Dan, Allah tidak akan menyalahi janji-Nya. Wallahu a'lam bis shawaab.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement