Kamis 27 Nov 2025 19:04 WIB

Pertama Kalinya, Al-Burhan Buka-Bukaan di Media Barat tentang Konflik Sudan dan Penyelesaiannya

Sudan menghadapi perang saudara hingga sekarang.

Seorang wanita yang melarikan diri dari el-Fasher, setelah pasukan paramiliter Sudan membunuh ratusan orang di wilayah barat Darfur, beristirahat di sebuah kamp di Tawila, Sudan, 31 Oktober 2025.
Foto: AP Photo/Mohammed Bakry
Seorang wanita yang melarikan diri dari el-Fasher, setelah pasukan paramiliter Sudan membunuh ratusan orang di wilayah barat Darfur, beristirahat di sebuah kamp di Tawila, Sudan, 31 Oktober 2025.

REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM— Ketua Dewan Keamanan Transisi dan Panglima Angkatan Darat Sudan, Letnan Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, dalam sebuah artikel yang diterbitkan oleh Wall Street Journal, memberikan gambaran menyeluruh tentang akar konflik, perkembangan, serta dampaknya di tingkat regional dan internasional.

Penjelasan Al-Burhan ini muncul dalam konteks upayanya untuk membuat kerangka politik dan etika yang mendefinisikan konflik ini sebagai pemberontakan brutal terhadap negara oleh Pasukan Dukungan Cepat (Rapid Support Forces/ RSF) pimpinan Muhammad Hamdan Dagalo, yang dikenal sebagai "Hamidti", terhadap Sudan dan rakyatnya. Bukan sekadar perang memperebutkan kekuasaan antara dua pimpinan militer seperti yang digambarkan beberapa pihak.

Baca Juga

Dia memulai artikelnya dengan menyatakan Sudan adalah negara dengan sejarah yang panjang. Sejarahnya berawal dari Kerajaan Kush dalam Alkitab, yang dia gambarkan sebagai salah satu peradaban terbesar yang pernah ada di Afrika.

Dia menambahkan, “Perang yang sekarang dilancarkan milisi RSF tidak mirip dengan konflik apa pun yang pernah kita hadapi sebelumnya."

Dia menjelaskan, perang telah merobek tatanan masyarakat Sudan dan menyebabkan jutaan warga sipil mengungsi serta membahayakan seluruh wilayah yang membentang dari Laut Merah hingga pantai Afrika.

Sudan saat ini berada di persimpangan jalan antara kehancuran atau pemulihan dan bahwa perdamaian tidak dibangun di atas ilusi, melainkan atas kenyataan. “Kenyataan saat ini adalah sekutu terkuat Sudan," kata di.

Dia mengatakan kekejaman RSF mencapai puncaknya di kota El Fasher, di mana Laboratorium Penelitian Kemanusiaan Universitas Yale memperkirakan jumlah korban tewas mencapai sekitar 10 ribu orang sebelum komunikasi dengan sumber-sumbernya terputus.

Dia menambahkan, dirinya telah lama menyadari RSF adalah barel mesiu yang siap meledak, yang dikenal sebagai Janjaweed pada awal milenium ini sebagai milisi pendukung di Darfur.

Kemudian berkembang pada 2019 menjadi kelompok paramiliter yang tidak terkendali dan bersenjata berat yang semakin mandiri dan beroperasi di luar sistem komando resmi, dengan dukungan jaringan pendanaan khusus dan catatan pelanggaran.

 
 
 
Lihat postingan ini di Instagram
 
 
 

Sebuah kiriman dibagikan oleh الجزيرة (@aljazeera)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement