Rabu 05 Nov 2025 14:10 WIB

Pengamat Ingatkan Potensi ‘Turbulensi’ Akibat Antrean Haji Disamaratakan

Pemerintah ingin rata-rata masa tunggu haji nasional sekitar 26 tahun.

Rep: Fuji Eka Permana/ Red: Hasanul Rizqa
ILUSTRASI Calon jamaah haji
Foto: Dok Republika/Rakhmawaty La'lang
ILUSTRASI Calon jamaah haji

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana Kementerian Haji dan Umrah (Kemenhaj) RI untuk menyamaratakan masa antrean haji di seluruh provinsi menjadi 26 tahun menuai respons berbagai pihak. Pemerintah diminta menimbang lagi dampak penerapan wacana itu bagi calon jamaah haji, terutama yang berasal dari daerah-daerah berantrean padat, semisal Jawa Barat.

Pengamat haji Mustolih Siradj mengatakan, rencana kebijakan tersebut bisa memicu turbulensi di kalangan calon jamaah yang telah lama menanti giliran berangkat ke Tanah Suci. Menurut dia, panjangnya antrean bergantung pada besaran kuota yang diberikan oleh Pemerintah Arab Saudi kepada Indonesia tiap tahunnya.

Baca Juga

"Problemnya adalah memang ketika kuota resmi yang diberikan oleh Arab Saudi sampai di Indonesia itu menjadi kuota nasional dan dibagi ke provinsi, ada provinsi yang memang sangat padat banyak antreannya (karena) yang daftar haji sangat antusias. Ada provinsi yang populasi penduduk dan Muslimnya tidak terlalu banyak sehingga yang daftar haji tidak terlalu banyak," ujar Mustolih Siradj kepada Republika, Rabu (5/11/2025).

Ia mengingatkan, Kemenhaj RI mesti merujuk pada aturan perundang-undangan bila ingin menyamaratakan antrean haji di seluruh provinsi menjadi 26 tahun. Menurut Mustolih, sejauh ini belum ada aturan yang eksplisit dalam pasal-pasal Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025 yang menyoroti perihal itu.

"Tidak ada satu pun aturan terkait dengan penyamaan atau disamaratakan (masa antrean haji di tiap provinsi). Jadi kalau kita lihat di Pasal 12, 13, 14 sampai 16 di undang-undang yang baru itu, secara prinsip ada tiga yang harus melandasi pembagian kuota haji, yaitu prinsip akuntabilitas, adil dan proporsional," ujarnya.

Karena itu, ia meminta Kemenhaj RI agar terlebih dahulu melakukan kajian secara mendalam sebelum menerapkan penyamarataan antrean haji. Sebab, kebijakan tersebut bila diterapkan akan sangat berdampak, terutama bagi calon jamaah yang sudah lama mengantre. Bukan tidak mungkin, banyak yang akan mendapatkan waktu antrean lebih lama.

"Dengan menggunakan cara pembagian anteran rata-rata 26 tahun, itu ternyata hanya efektif bisa menyelesaikan (panjangnya antrean di) 10 provinsi. Sisanya justru tambah mundur antreannya," ucapnya.

Sebagai contoh, kuota haji untuk Provinsi Jawa Barat pada musim haji 2026 M/1447 H mengalami pengurangan. Dari sebelumnya sebanyak 38.723 orang pada 2025, kini menjadi 29.643 orang. Dengan demikian, ada sekitar sembilan ribu orang yang mengalami antrean lebih lama atau keberangkatannya tertunda.

"Sehingga resep ini (antrean haji jadi rata 26 tahun) kelihatannya akan menimbulkan semacam turbulensi. Turbulensi bagi jamaah haji yang tadinya bisa berangkat katakanlah pada tahun 2026," tukas Mustolih.

Sebelumnya, Kemenhaj RI menegaskan, perhitungan kuota haji per provinsi akan dilakukan berdasarkan ketentuan dalam undang-undang. Dengan demikian, rata-rata masa tunggu nasional akan merata pada kisaran 26 hingga 27 tahun.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (@republikaonline)

"Jadi, mungkin nanti ada banyak perubahan. Mungkin ada daerah atau provinsi yang naik jumlah jamaah hajinya, tapi ada juga yang turun," ujar Wakil Menteri (Wamen) Haji Dahnil Anzar Simanjuntak di Jakarta, Selasa (30/9/2025) lalu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement