Kamis 09 Oct 2025 13:55 WIB

KPK Jelaskan Uang Rp 100 M yang Disita dari Perkara Kuota Haji

Korupsi kuota haji sudah naik ke tahap penyidikan tapi belum ada tersangka.

Rep: Rizky Surya/ Red: Muhammad Hafil
Logo KPK
Foto: Republika/Thoudy Badai
Logo KPK

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengklarifikasi soal asal uang Rp 100 miliar dari perkara korupsi kuota haji tambahan yang dikembalikan kepada KPK.  KPK memastikan uang itu merupakan kerugian negara. 

Hal tersebut merupakan respons KPK atas narasi dalam artikel Himpunan Penyelenggara Umrah dan Haji (HIMPUH). Dalam artikel itu dikatakan bahwa uang yang dikembalikan ke KPK merupakan uang jamaah dan pengembaliannya untuk menjaga situasi kondusif sekaligus menunjukkan iktikad baik.

 

"Perkara ini berpangkal dari adanya dugaan penyalahgunaan wewenang oleh penyelenggara negara yang bekerja sama dengan pihak-pihak lainnya dalam pembagian kuota haji tambahan untuk penyelenggaraan ibadah haji Indonesia tahun 2023–2024," kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo dalam keterangannya pada Kamis (9/10/2025).

 

KPK menerangkan kuota tambahan dari pemerintah Arab Saudi mestinya ditujukan demi memotong antrean jemaah haji reguler. Tapi akibat ulah curang, jatah kuota itu malah dipindahkan menjadi kuota haji khusus yang dikelola oleh Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) atau biro travel.

 

Dampaknya membuat kuota haji reguler yang dikelola Kementerian Agama (Kemenag) berkurang. Di saat yang sama, kuota haji khusus yang dikelola PIHK justru melonjak. 

 

"Kuota-kuota haji khusus yang diperjualbelikan oleh PIHK itu bermula dari adanya diskresi pembagian kuota tersebut," ucap Budi.

 

Lewat penyidikan, KPK mendapati kucuran dana dari para PIHK kepada oknum di Kemenag dengan berbagai modus, seperti "uang percepatan". Uang ini dimaksudkan supaya calon jamaah haji khusus dapat langsung berangkat di tahun yang sama saat mendaftar. 

 

KPK melandasi argumen kerugian negara pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Dalam UU iru, keuangan negara mencakup kekayaan pihak lain yang dikuasai pemerintah untuk penyelenggaraan tugas pemerintahan, termasuk kekayaan yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.

 

"Ditemukan fakta-fakta adanya dugaan aliran uang dari para PIHK kepada oknum di Kemenag, dengan berbagai modus seperti uang percepatan dan lainnya, karena dengan kuota haji khusus ini calon jmaah kemudian langsung berangkat pada tahun itu tanpa perlu mengantre," ujar Budi.

 

Sebelumnya, Ketua KPK Setyo Budiyanto memastikan jumlah uang yang disita dalam perkara sudah mendekati Rp 100 miliar. Uang itu diduga dikembalikan oleh para penyelenggara ibadah haji. 

 

KPK mempersoalkan diskresi eks Menag Yaqut Cholil Qoumas dengan terbitnya SK Nomor 130 Tahun 2024 tentang Pembagian Kuota Haji Tambahan 2024. Lewat SK itu, diatur ketentuan 50% untuk haji reguler dan 50% untuk haji khusus. SK Gus Yaqut itu dipandang  melanggar UU Penyelenggaraan Ibadah Haji yang mengatur 92% untuk haji reguler dan 8% untuk haji khusus.

 

KPK mengungkap dugaan asosiasi yang mewakili perusahaan travel melobi Kemenag supaya memperoleh kuota yang lebih banyak bagi haji khusus. KPK mengendus lebih dari 100 travel haji dan umrah diduga terlibat dalam kasus dugaan korupsi kuota haji ini. Tapi, KPK belum merinci ratusan agen travel itu.

 

KPK menyebut setiap travel memperoleh jumlah kuota haji khusus berbeda-beda. Hal itu didasarkan seberapa besar atau kecil travel itu. Dari kalkulasi awal, KPK mengklaim kerugian negara dalam perkara ini mencapai Rp 1 triliun lebih. 

 

KPK sudah menaikkan perkara ini ke tahap penyidikan meski tersangkanya belum diungkap. Penetapan tersangka merujuk pada Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

 

Tercatat, KPK telah banyak memeriksa pejabat di Kemenag dan pihak penyedia travel haji. Bahkan KPK telah dua kali memeriksa eks Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yaitu pada 7 Agustus 2025 dan 1 September 2025. Walau demikian, KPK tak kunjung menetapkan satu pun tersangka. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement