Jumat 03 Oct 2025 08:17 WIB

Anak Jadi Target Baru Kejahatan Digital, Indonesia Harus Waspada

Anak-anak kelompok paling rentan terdampak kejahatan digital.

Rep: Muhyiddin / Red: Nashih Nashrullah
Ilustrasi Anak dan Media Sosial (Medsos)
Foto: Pixabay
Ilustrasi Anak dan Media Sosial (Medsos)

REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH – Dunia kembali diguncang oleh serangan siber terbaru yang menyasar pejabat Amerika Serikat.

Insiden itu mengejutkan karena data pribadi anak-anak ditemukan ikut dicuri dan digunakan secara ilegal. Kasus ini menegaskan bahwa anak-anak kini menjadi target baru dalam kejahatan digital.

Baca Juga

Peringatan keras datang dari pakar keamanan siber internasional, Iain Drennan, Direktur Eksekutif WeProtect Global Alliance. Dalam paparannya di Global Cybersecurity Forum di Riyadh, Selasa (1/10/2025), ia menegaskan bahwa anak-anak adalah kelompok paling rentan di era digital.

“Pribadi dan keamanan adalah hak fundamental anak di ruang digital. Tidak seharusnya ada kontradiksi antara keduanya. Kita harus menciptakan ruang digital yang melindungi privasi anak-anak sekaligus membuat mereka aman,” ujar Drennankepada media di Jakarta, Jumat (3/10/2025).

Pesan ini sangat relevan bagi Indonesia. Dengan lebih dari 70 juta anak dan remaja yang menjadi pengguna internet aktif, Indonesia termasuk negara dengan populasi digital muda terbesar di dunia.

Pandemi Covid-19 semakin mempercepat transformasi tersebut, mulai dari sekolah daring, layanan kesehatan berbasis aplikasi, hingga hiburan digital.

Namun, perlindungan data pribadi anak di Indonesia dinilai masih lemah. Kasus kebocoran data dari aplikasi pendidikan, platform belanja daring, hingga media sosial menunjukkan rapuhnya sistem keamanan.

“Indonesia harus belajar dari kasus di negara maju. Jika tidak mengambil langkah tegas, krisis serupa hanya menunggu waktu,” ucap Drennan.

Menurutnya, prinsip “keselamatan dengan desain” (safety by design) harus dipegang kuat. Sama seperti produsen mobil yang sejak awal merancang sabuk pengaman, perusahaan teknologi juga harus menempatkan keselamatan anak sebagai prioritas sejak tahap perancangan produk.

“Beban tidak seharusnya berada pada anak atau orang tua. Perusahaan dan pemerintah harus bertanggung jawab menciptakan kerangka kerja yang melindungi anak-anak, sehingga mereka bisa mendapatkan manfaat dari dunia digital tanpa ancaman eksploitasi,” katanya.

Indonesia sejatinya sudah memiliki payung hukum dengan disahkannya UU Perlindungan Data Pribadi (PDP) pada 2022. Namun, implementasinya dinilai masih jauh dari ideal. Banyak perusahaan digital, terutama start-up, belum menempatkan keamanan data sebagai prioritas utama.

“Jika beban perlindungan hanya diletakkan di pundak orang tua, maka kesenjangan digital akan semakin lebar. Tidak semua orang tua memiliki literasi digital yang memadai. Inilah sebabnya pemerintah dan perusahaan harus mengambil peran proaktif,” jelas Drennan.

Indonesia bukan tanpa ancaman. Laporan Interpol 2024 menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat eksploitasi seksual anak daring (online child exploitation) tertinggi di Asia Tenggara.

Selain itu, maraknya gim daring tanpa kontrol keamanan memudahkan predator digital mendekati anak-anak.

Kasus pencurian identitas digital anak juga meningkat. Data mereka kerap digunakan untuk membuka akun palsu, mendaftar pinjaman online, hingga diperjualbelikan di forum gelap. Dampaknya bisa berlangsung seumur hidup, mulai dari kerugian finansial hingga trauma psikologis.

Peringatan dari Riyadh ini menjadi momentum bagi Indonesia untuk memperkuat sistem keamanan digital, terutama bagi anak-anak. Selain regulasi, literasi digital di kalangan orang tua dan guru juga perlu diperkuat.

“Anak-anak punya hak atas keamanan dan privasi di ruang digital, sama pentingnya dengan hak mereka di dunia nyata,” kata Drennan. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement