REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aqsa Working Group (AWG) secara resmi memberangkatkan empat relawan terbaik dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta menuju Tunisia pada Rabu (27/8/2025).
Dari Tunisia, mereka akan berlayar menuju Gaza bersama aktivis kemanusiaan dari berbagai negara dalam misi Global Sumud Flotilla, sebuah gerakan sipil internasional yang akan menembus blokade ilegal Zionis Israel di Jalur Gaza.
Empat relawan ini akan berangkat bersama armada internasional pada 4 September 2025, yang terdiri dari puluhan kapal dari berbagai negara.
Ketua Presidium AWG, Muhammad Anshorullah menegaskan bahwa Sumud Flotilla merupakan gerakan sipil global sebagai respon atas genosida yang terus berlangsung di Palestina dan kegagalan para pemimpin dunia menghentikan kejahatan Zionis Israel. Ia menyebut Flotilla kali ini akan menjadi gerakan bersejarah dengan melibatkan lebih dari 40 kapal dari 44 negara.
"Flotilla kali ini tidak hanya satu kapal, melainkan lebih dari 40 kapal. Ini adalah simbol perlawanan global terhadap Zionisme internasional. Dengan mengirimkan empat relawan terbaik bersama puluhan aktivis Indonesia lainnya, AWG menunjukkan komitmen untuk terus berjamaah melawan kedzaliman Zionis Israel dan membebaskan Al-Aqsa serta Palestina,” kata Anshorullah kepada Republika, Kamis (28/8).
Anshorullah mengatakan, misi kemanusiaan ini merupakan tindak lanjut dari banyaknya gerakan Freedom Flotilla sebelumnya, termasuk Madleen dan Handala.
Keteguhan yang Menyatukan Dunia
Kata Sumud berasal dari bahasa Arab yang berarti keteguhan (steadfastness), sebuah konsep yang mengakar dalam perjuangan rakyat Palestina. Melalui Global Sumud Flotilla, keteguhan rakyat Gaza disambungkan dengan solidaritas global lintas negara, ras, dan agama.
Blokade kejam Zionis Israel yang diberlakukan sejak 2007 telah menjadikan Gaza sebagai penjara terbuka terbesar di dunia, membatasi pergerakan manusia, obat-obatan, bahan bakar, dan pangan. Menurut data PBB, 80 persen penduduk Gaza hidup bergantung pada bantuan kemanusiaan, dengan pengangguran melampaui 50 persen dan sistem kesehatan di ambang kehancuran. Kondisi ini semakin memburuk sejak agresi brutal Zionis Israel pada 7 Oktober 2023, yang oleh lembaga HAM internasional dinilai sebagai kejahatan perang dan genosida.