REPUBLIKA.CO.ID, MADINAH -- Pada tahun kedelapan hijriyah, Nabi Muhammad SAW mengirimkan sepucuk surat dakwah melalui utusannya yang bernama Harits bin Umair Al Azdy. Dia diutus Nabi untuk menyampaikannya kepada Raja Bushra.
Namun, utusan ini dibunuh oleh pembesar Bani Ghassan, yaitu Syurahbil bin Amr di Mu'tah, Timur Yordan. Padahal, dalam hukum internasional termasuk pada masa lalu, seorang utusan (diplomat) tak boleh dibunuh.
Rasullah sangat marah. Maka, beliau menyiapkan tiga ribu tentara untuk memerangi Mu'tah. Baginda mengangkat Zaid bin haritsah menjadi panglima pasukan itu.
Nabi berpesan, jika Zaid gugur, maka digantikan oleh Jafar bin Abi Thalib sebagai panglima. Jika Jafar gugur maka jabatan panglima dipegang oleh Abdullah bin Rawahah. Dan, jika Abdulah gugur maka digantikan oleh kaum Muslimin di antara pasukan itu.
Saat pasukan tiba di daerah Ma'an, sebelah timur Yordan, di sana ternyata sudah menunggu ratusan ribu pasukan Romawi. Kaum Muslimin yang berjumlah tiga ribu orang bermusyawarah apakah melapor dengan menulis surat ke Rasulullah menunggu perintah selanjutnya atau lanjut menghadapi Romawi.