REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Secara terminologi fikih, buruh adalah ajir, yakni seseorang yang menyewakan jasanya kepada pihak lain dengan imbalan berupa upah (ujrah). Pada praktiknya, buruh menjual waktu, tenaga dan keahlian demi mendapatkan penghidupan yang layak. Oleh karena itu, Islam memandang tindakan menahan-nahan hak mereka sebagai sebuah pelanggaran terhadap prinsip keadilan dan martabat kemanusiaan.
Menurut Ustaz Muhammad Zainul Millah, seperti dilansir dari laman Nahdlatul Ulama Online, ada beberapa model kesepakatan pembayaran upah yang dikenal dalam fikih Islam.
Pertama, upah dibayarkan di awal kerja. Kedua, upah dibayarkan pada akhir atau secara cicilan. Ketiga, upah tanpa kesepakatan waktu yang jelas.
Dalam model ketiga ini, para ulama berbeda pendapat. Mazhab Syafi’i mewajibkan pembayaran dilakukan di awal. Adapun mazhab Hanafi memperbolehkan upah dibayar seiring berjalannya pekerjaan. Kemudian, Imam Malik mewajibkan pembayaran setelah pekerjaan tuntas.
Namun, semua ulama menyepakati, jika buruh telah menyelesaikan pekerjaannya dan meminta upah, maka majikan atau pihak perusahaan wajib segera membayarkan upah itu bila dalam kondisi mampu.
Menunda pembayaran upah dalam situasi mampu adalah haram. Hal ini berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW yang menyatakan, “Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya mengering.” Para ulama memahami ini sebagai perintah untuk tidak menunda hak buruh atau pekerja setelah pekerjaan selesai.
Al-Munawi dalam kitab Faidhul Qadir menegaskan, perintah tersebut merupakan kiasan atas kewajiban untuk segera membayar upah ketika buruh meminta bayarannya, bahkan ketika pekerjaannya itu tidak berkeringat sekalipun. Penundaan tanpa alasan yang urgen adalah bentuk ketidakadilan.