REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sekte keagamaan Druze belakangan ini ikut meramaikan konflik di Timur Tengah, khususnya Suriah bagian selatan. Israel bahkan mengeklaim menjadi pelindung sekte yang berdiam di dataran tinggi Golan, Suweida, Lebanon hingga sebagian Israel tersebut dengan mengebom Istana Kepresidenan Suriah di Damaskus, belum lama ini.
Dilansir dari AP News, keberadaan Druze bermula sekitar 1.000 tahun yang lalu. Sekte ini merupakan turunan dari Ismailisme, yang menjadi cabang Syiah. Sebagian besar praktik keagamaan Druze diselimuti kerahasiaan. Orang luar tidak diizinkan untuk pindah agama dan pernikahan antar agama sangat tidak dianjurkan.
Lebih dari separuh anggota Druze yang berjumlah 1 juta orang di seluruh dunia tinggal di Suriah. Sebagian besar anggota sekte lainnya tinggal di Lebanon dan Israel, termasuk di Dataran Tinggi Golan, yang direbut Israel dari Suriah dalam Perang Timur Tengah 1967 dan dianeksasi pada 1981, menurut AP News.
Prinsip-prinsip yang dianut
Doktrin inti bagi sekte Druze adalah saling membela sesama anggota mereka, kata Makram Rabah, asisten profesor sejarah di Universitas Amerika di Beirut."Jika seorang Druze di mana pun di dunia membutuhkan bantuan sesama Druze, ia akan otomatis mendapatkannya," kata Rabah. "Anda adalah bagian dari komunitas yang lebih besar."
Ia menekankan bagaimana ritual sosial dan budaya menjaga komunitas tetap utuh. "Mereka adalah suku yang besar," kata dia.
Pernikahan antar agama tidak dianjurkan. Rabah mengatakan bahwa Druze arus utama akan menjauhi orang yang menikah dengan orang di luar sekte. "Anda berisiko terisolasi secara sosial dan komunitas," kata dia.
Druze Suriah memiliki sejarah panjang dalam menapaki jalan mereka sendiri untuk bertahan hidup di antara kekuatan-kekuatan besar negara itu. Mereka sangat terlibat dalam pemberontakan melawan pemerintahan Ottoman dan Prancis untuk mendirikan negara Suriah modern.
